Korupsi, Rehabilitasi, dan Upaya Mencabut Ranjau Hukum Direksi BUMN

28 November 2025 15:15 28 Nov 2025 15:15

Thumbnail Korupsi, Rehabilitasi, dan Upaya Mencabut Ranjau Hukum Direksi BUMN
Oleh: Muhsin Budiono*

Coba bayangkan ini: Anda adalah putra terbaik bangsa yang mendapat amanah sebagai Direktur Utama BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Di meja Anda ada proposal investasi bernilai triliunan rupiah. Risikonya tinggi, tapi potensinya bisa melompatkan keuntungan perusahaan yang Anda pimpin.

Anda paham, keputusan ini bisa membuat Anda dikenang sebagai pahlawan, atau... sebagai tersangka korupsi.

Inilah dilema yang meracuni BUMN kita.
Dan kasus Ira Puspadewi (Mantan Dirut ASDP) yang sedang hangat diperbincangkan saat ini adalah representasi sempurna dari dilema itu.

Ira divonis bersalah karena merugikan negara Rp1,25 triliun. Namun, perusahaan yang ia pimpin lantas meraup untung Rp637 miliar setahun setelah akuisisi.

Ira sendiri tak mengambil untung pribadi.
Tak ada bukti aliran dana ke rekeningnya dan tak ada mens rea.

Ini bukan hanya ketidakadilan. Ini adalah kegagalan sistem hukum kita membedakan antara risiko bisnis dan kejahatan.

Memaknai Rehabilitasi

Setelah polemik hukum dan persidangan yang panjang, Presiden Prabowo Subianto akhirnya memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi dan dua terdakwa lain dalam kasus ASDP (Yusuf Hadi dan Harry Adhi).

Keputusan yang diambil pada Selasa (25/11/2025) lalu persis seperti langkah yang pernah diambil untuk kasus Tom Lembong.

Tindakan Presiden ini, yang merupakan kewenangan konstitusional, secara politik adalah penegasan tertinggi bahwa sistem hukum (UU Tipikor) telah gagal membedakan antara kelalaian bisnis dan kejahatan yang disengaja.

Rehabilitasi ini bukan pembenaran atas prosedur yang sempurna, melainkan pengakuan bahwa Direksi BUMN tersebut tak pantas menyandang status koruptor karena tak ada niat jahat.

Angka Kerugian Spekulatif

Masalahnya terletak pada angka. Aparat Penegak Hukum (APH) berpegangan pada kerugian Rp1,25 triliun. Tapi, angka itu adalah hasil dari penghitungan yang tidak utuh.
Kritik Kerasnya: Angka itu opini, bukan fakta.

Hukum kita memakai delik materiil. Harus ada akibat (kerugian) dahulu. Karena APH wajib membuktikan kerugian, mereka memaksakan angka itu muncul, meski harus memakai metode spekulatif.

Contoh pada kasus tata kelola Timah yang menunjukkan kerugian Rp300 Triliun didominasi kerugian potensial kerusakan lingkungan yang belum terjadi (potensial and unrealized loss).

Dalam kasus Ira juga serupa. Yang diperkarakan cenderung pada potential loss.

Bukankah memenjarakan orang berdasarkan hitungan hipotetis dapat melanggar Asas Kepastian Hukum (Lex Certa)? Hukum harus jelas dan pasti.

Hukum kita barangkali harus meniru Amerika Serikat: Mereka pakai delik formil untuk korupsi.

APH fokus pada niat jahat (scheme to defraud). Kerugian tak harus terjadi. Cukup buktikan niat curang, selesai. Vonis bisa dijatuhkan.

Atau berkiblat ke Jerman: hanya mengakui kerugian finansial aktual yang terukur. Risiko yang gagal, diselesaikan di luar hukum pidana. 

Meski pakai delik materiil, Jerman cuma mengakui kerugian finansial yang nyata-nyata hilang. Kerugian spekulatif, buang jauh-jauh.

​Kita? Kita mengambil yang terburuk. Kita wajibkan kerugian, tapi angkanya diambil yang paling spekulatif dan hitungan paling tidak pasti. Potential loss dan unrealized loss.

Inilah yang mematikan Business Judgment Rule (BJR). BUMN yang berani ambil risiko, tapi kesandung sial, langsung diancam penjara.

Sisi Negatif Positif Rehabilitasi

Tindakan Presiden memberikan rehabilitasi terhadap vonis yang sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap) adalah isu yang sangat sensitif dan dapat dilihat dari dua sisi.

Pertama, Sisi Negatif (Berpotensi Preseden Buruk).

Pemberian rehabilitasi dapat dilihat sebagai intervensi politik terhadap proses hukum yang sudah berjalan.

Rehabilitasi bisa dianggap melemahkan wibawa Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tipikor. Karena vonis yang sudah melalui proses panjang tiba-tiba "dibatalkan" oleh keputusan politik.

Rehabilitasi juga dapat mencerminkan ketidakpastian hukum. Ia menciptakan preseden bahwa putusan pengadilan (khususnya bagi pejabat tinggi BUMN) tidak bersifat final, melainkan dapat diubah oleh kekuasaan eksekutif.

Kedua, Sisi Positif (Penegasan Perlunya Reformasi).

Rehabilitasi dapat dipandang sebagai tindakan korektif terhadap kegagalan legislasi dan yudikasi.

Dalam konteks ini rehabilitasi merupakan pengakuan eksplisit dari Kepala Negara bahwa dalam kasus-kasus tertentu, UU Tipikor dan penafsirannya oleh pengadilan gagal membedakan antara risiko bisnis dan korupsi. 
Ini adalah bentuk perlindungan politik terakhir terhadap BJR.

Sisi positif lainnya yaitu mendorong keberanian. Pemberian rehabilitasi mengirimkan sinyal kuat kepada Direksi BUMN lainnya bahwa negara akan membela selama mereka bertindak dengan itikad baik dan tanpa niat jahat.

Sekalipun keputusan mereka berujung pada kerugian. Ini sangat penting untuk memulihkan risk appetite (keberanian mengambil risiko) di BUMN.

Kesimpulannya? Rehabilitasi bukan preseden buruk jika dilihat sebagai koreksi politik yang diperlukan atas kekosongan hukum dan kegagalan sistem pengadilan dalam menerapkan BJR.

Namun, rehabilitasi jadi preseden buruk jika Presiden memberikannya tanpa adanya kesadaran kolektif untuk segera merevisi UU Tipikor agar kasus serupa tak terulang di masa depan.

Mencabut Jebakan Hukum

Kita butuh solusi permanen, bukan intervensi politik. Hukum harus diperbaiki.

Pertama, Ubah Fokus: Niat Jahat Mutlak!
Hentikan perburuan angka spekulatif. Fokus APH harus total pada niat jahat (mens rea).

Kedua, Kunci Angka Kerugian hanya pada BPK.
Hanya BPK yang berhak menghitung kerugian negara. BPK wajib tunduk pada prinsip kerugian riil yang terverifikasi (realized loss).

Ketiga, BJR Harus Jadi Tembok Pelindung.
Perlindungan BJR harus dibuat mutlak. Selama Direksi membuktikan adanya Iktikad Baik, Kehati-hatian, dan Tanpa Benturan Kepentingan, mereka harus dilindungi.

Sudah cukup Direksi BUMN yang main aman dan kehilangan keberanian. Kita tak butuh pemimpin yang kerjanya hanya menanti panggilan KPK.

Pilihannya jelas: Kemajuan dengan risiko yang terukur, atau stagnasi total karena takut dipidana.

Rehabilitasi hanyalah pemadam kebakaran. Solusi permanennya adalah mencabut ranjau jebakan hukum yang dipasang di ruang rapat Direksi BUMN kita! (*)

*) Muhsin Budiono adalah Praktisi dan Pemerhati BUMN

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

Korupsi BUMN Direksi BUMN BUMN