KETIK, JAKARTA – Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP30) di Belem, Brazil, telah ditutup. Forum global yang diharapkan menjadi penentu arah penyelamatan bumi justru menunjukkan gejala kian menjauh dari tujuan keadilan iklim. Di tengah ancaman pendidihan planet yang terus meningkat, perdebatan dan negosiasi dipandang lebih sibuk memperjualbelikan krisis dibandingkan memulihkannya.
Di tengah berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim COP30 di Brasil, Greenfaith Indonesia menyerukan urgensi keterlibatan tokoh agama dan masyarakat lintas iman dalam memperjuangkan keadilan iklim. Krisis iklim dinilai bukan hanya masalah sains, ekonomi, atau pembangunan, melainkan juga masalah moral dan spiritual yang menyangkut martabat manusia dan kesucian bumi.
GreenFaith Indonesia, dalam kertas posisi bertajuk ‘Iman untuk Keadilan Iklim’ yang dirilis hari ini, Senin 24 November 2025, menilai COP30 gagal memberi arah tegas untuk menghentikan energi fosil. Alih-alih mempercepat transisi, lebih dari 1.600 pelobi industri fosil memperoleh akses ke ruang-ruang perundingan penting. Rasio satu pelobi dalam setiap 25 peserta memperlihatkan pengaruh besar korporasi terhadap keputusan global. Paradigma “bisnis sebagai biasa”—yang menguntungkan negara maju dan korporasi bahan bakar fosil—masih menjadi warna dominan dalam forum yang seharusnya memulihkan planet.
Ironinya semakin terasa ketika Indonesia meraih “penghargaan” Fossil of The Day dari Climate Action Network International. Pemicunya ialah keterlibatan pelobi industri fosil dalam delegasi resmi Indonesia. Bagi GreenFaith Indonesia, langkah ini tidak hanya memperburuk diplomasi iklim nasional, tetapi juga mengkhianati nasib jutaan rakyat yang kini hidup dalam ancaman bencana ekologis berulang.
Indonesia: Negara Rentan yang Justru Melegitimasi Krisis
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menjadi salah satu yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim: tenggelamnya desa pesisir, hilangnya ruang hidup nelayan, banjir rob tahunan, kekeringan ekstrem, serta meningkatnya angka pengungsi iklim. Berdasarkan data WALHI, lebih dari 5.416 desa pesisir tenggelam pada periode 2017–2020 akibat banjir rob. Pada saat yang sama, ribuan nelayan meninggal setiap tahun akibat cuaca ekstrem.
Namun, alih-alih memperkuat mitigasi dan adaptasi, sejumlah regulasi nasional justru memperparah krisis. Revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, serta penyusunan Second Nationally Determined Contribution (SNDC), dinilai membuka ruang ekspansi energi fosil dan deforestasi besar-besaran. Konsesi pertambangan yang dapat diberikan hingga ke ormas keagamaan menjadi preseden baru yang justru menggerus nilai moral dalam menjaga alam.
Respons GreenFaith Indonesia: Iman untuk Keadilan Iklim
GreenFaith Indonesia memandang krisis iklim bukan sekadar perkara ekologis, tetapi juga spiritual dan moral. Eksploitasi alam lahir dari pandangan antroposentris—manusia sebagai pusat segala hal. Dalam pandangan GreenFaith, iman tidak seharusnya mengabdi pada logika kapitalistik yang merusak, tetapi mendesak manusia bertindak sebagai penjaga bumi (khalifah fil ardh).
Dalam konteks COP30, GreenFaith Indonesia menyampaikan empat sikap utama:
1. Keadilan Bagi yang Rentan
Krisis iklim menimpa kelompok berpendapatan rendah, masyarakat pesisir, nelayan, anak-anak, dan masyarakat adat. Kebijakan nasional harus berpihak pada adaptasi, mitigasi, dan pembiayaan loss and damage yang dapat diakses langsung oleh korban, bukan melalui skema rumit yang dikendalikan lembaga keuangan.
2. Transisi Energi yang Berkeadilan
Peralihan energi harus bersih, terbarukan, dan tidak merampas ruang hidup masyarakat. GreenFaith menolak transisi semu yang tetap bergantung pada gas, biomassa PLTU, atau eksploitasi nikel tanpa kendali.
3. Partisipasi Komunitas Berbasis Iman
Komunitas agama memiliki peran kunci memobilisasi perubahan gaya hidup ekologis dan solidaritas terhadap korban krisis iklim. Ajaran agama harus mendorong pengurangan konsumsi berlebih dan ekonomi yang tidak merusak.
4. Etika dan Spiritualitas dalam Kebijakan Publik
Keputusan politik dan ekonomi tidak boleh hanya dihitung dari keuntungan, tetapi harus mempertimbangkan keutuhan ciptaan, keberlanjutan alam, dan perlindungan generasi mendatang.
Iman Sebagai Kekayaan Moral untuk Menyelamatkan Bumi
GreenFaith Indonesia menegaskan, iman harus menjadi kekuatan moral untuk merombak cara pandang atas bumi. Ke depan, keadilan iklim harus diarusutamakan dalam pendidikan nasional dan literasi ekologis masyarakat.
Generasi mendatang berhak atas masa depan yang tidak dibakar oleh kerakusan ekonomi hari ini. “Jika iman hanya diam saat bumi dirampas, maka ia kehilangan makna,” tegas GreenFaith Indonesia.(*)
