KETIK, JAKARTA – Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) meminta Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengklarifikasi terkait pernyataannya soal 'bakar kilang' di dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XI DPR RI pada Selasa, 30 September 2025.
Pernyataan yang menyebut bahwa Pertamina malas membangun kilang baru dan kilang yang ada malah dibakar dianggap menyesatkan publik dan mereduksi kerja keras seluruh pihak yang terlibat dalam pembangunan energi nasional.
Padahal kebakaran yang terjadi di beberapa kilang Pertamina selama ini, merupakan insiden, bukan adanya unsur kesengajaan dibakar.
"FSPPB menilai pernyataan tersebut berpotensi menimbulkan tafsir publik yang keliru, seolah-olah insiden kebakaran kilang terjadi secara sengaja. Hal ini tidak hanya merugikan nama baik Pertamina dan pekerjanya, namun juga dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap tata kelola energi nasional," kata Arie Gumilar, Presiden FSPPB di Jakarta, Rabu 1 Oktober 2025.
Menurut dia, tuduhan mengenai adanya unsur kesengajaan dalam peristiwa kebakaran kilang merupakan hal yang sangat serius dan harus didukung oleh bukti yang sahih.
"Setiap pernyataan pejabat negara di ruang publik memiliki konsekuensi besar terhadap persepsi masyarakat dan kredibilitas institusi. Karena itu, FSPPB menekankan agar pernyataan tersebut diluruskan dengan penjelasan resmi yang berdasarkan fakta hukum dan investigasi teknis yang dapat dipertanggungjawabkan," tegas Arie Gumilar.
Ia menilai aapabila bukti faktual tidak ada, maka FSPPB meminta Menkeu untuk segera mengkoreksi pernyataannya demi menjaga marwah pekerja, perusahaan, serta kepercayaan publik terhadap negara.
FSPPB mengingatkan bahwa pembangunan maupun revitalisasi kilang, seperti proyek RDMP, adalah proses strategis berskala besar yang tidak sederhana.
"Membangun kilang bukan hanya urusan teknis, melainkan bagian dari pembangunan peradaban industri. Proses ini membutuhkan investasi besar, dukungan lintas sektor, serta kesabaran jangka panjang," jelas Arie.
Presiden FSPPB ini berpandangan terdapat banyak faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan kilang.
Pertama adalah adanya kebijakan politik dan ekonomi seperti konsistensi regulasi, kepastian investasi, koordinasi lintas Kementerian dan stabilitas finansial jangka panjang.
Kedua adalah faktor sosial dan budaya antara pembebasan lahan, penerimaan masyarakat, serta keselarasan dengan norma lokal.
Ketiga, faktor lingkungan dan keselamatan (HSSE) meliputi pemenuhan standar keamanan dan lingkungan hidup internasional yang ketat dan kompleks.
Keempat terkait faktor proses konstruksi antara lain pekerjaan berteknologi tinggi (high technology) dengan risiko tinggi (high risk) yang tak dapat dijalankan secara serampangan dan sembarangan.
"Jadi pernyataan Menter Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyederhanakan tantangan tersebut berisiko menyesatkan publik," tandas Arie.
FSPPB, kata Arie, tetap menegaskan komitmennya untuk mendorong reintegrasi Pertamina dari hulu hingga hilir, termasuk pengembalian fungsi SKK Migas dan BPH Migas ke dalam satu Pertamina di bawah kendali langsung Presiden RI.
Sebab, reintegrasi diyakini akan memberikan manfaat strategis bagi bangsa, diantaranya menekan defisit neraca perdagangan melalui pengurangan impor migas.
Lalu, memperkuat kedaulatan dan swasembada energi sesuai Astacita Presiden Republik Indonesia.
"Dan menghadirkan tata kelola energi yang lebih terintegrasi, efisien, dan berpihak pada kepentingan nasional," kata Presiden FSPPB ini.
Sehingga FSPPB akan selalu berdiri di garda terdepan dalam membela martabat pekerja Pertamina dan menjaga kredibilitas perusahaan, sembari mendorong terciptanya sistem energi nasional yang berdaulat, transparan, dan berpihak kepada kepentingan rakyat.
Seperti diketahui, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Selasa 30 September 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan mendorong Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) membangun kilang minyak di Tanah Air.
Harapannya Indonesia bisa mengurangi ketergantungan impor Bahan Bakar Minyak (BBM), salah satunya impor dari Singapura.
Dimana nilai impor yang besar itu membuat subsidi pemerintah meningkat dari tahun ke tahun.
"BBM tuh solar, diesel, kita banyak impornya sampai puluhan miliar dolar setahun. Sudah berapa tahun kita mengalami hal tersebut? Sudah puluhan tahun kan? Kita pernah bangun kilang baru nggak? Nggak pernah!" kata Purbaya.
"Jadi nanti kalau bapak-bapak, ibu-ibu (DPR) ketemu Danantara lagi, minta Pertamina bangun kilang baru," tambahnya.
Menurut Purbaya, Indonesia bukan tidak bisa membangun kilang, tetapi karena selama ini Pertamina malas-malasan.
Ia mengungkit janji Pertamina pada 2018 yang mau membangun tujuh kilang baru dalam lima tahun, namun belum kunjung terealisasi.
"Waktu saya di maritim, saya pernah tekan mereka tahun 2018 untuk bangun kilang. Mereka janji akan bangun tujuh kilang baru dalam waktu lima tahun. Sampai sekarang kan nggak ada satu pun. Jadi bapak tolong kontrol mereka juga. Dari saya kontrol, dari bapak-bapak juga kontrol karena kita rugi besar. Kita impor dari mana? Dari Singapura," ungkap Purbaya.
"Jadi kilang itu, bukan kita nggak bisa bikin proyeknya, cuma Pertamina malas-malasan saja," tambahnya.
Purbaya menyebut janji itu disampaikan Pertamina ketika investor China ingin membangun kilang minyak di Indonesia. Saat itu Pertamina menolak dengan alasan produksinya akan over kapasitas dengan rencana membangun tujuh kilang baru.
"Yang ada malah beberapa dibakar kan. Jadi tolong dari Parlemen juga mengontrol Pertamina, mengontrol hal tersebut, jadi kita kerja sama. Tujuan kita sama sepertinya, mengurangi subsidi dan membuat subsidi yang ada pun lebih murah dan tepat sasaran," tegas Purbaya. (*)