Dorong Industri Rokok Skala Kecil, LaNyalla Dorong Pemerintah Beri Kebijakan Tarif Cukai Golongan III

1 Juli 2025 19:58 1 Jul 2025 19:58

Thumbnail Dorong Industri Rokok Skala Kecil, LaNyalla Dorong Pemerintah Beri Kebijakan Tarif Cukai Golongan III
Anggota DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti (Foto: Dokumentasi LaNyallaCenter)

KETIK, SURABAYA – Anggota DPD RI/MPR RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mendorong agar pemerintah memberikan kebijakan khusus untuk tarif cukai Golongan III bagi Sigaret Kretek Mesin (SKM) industri rokok skala kecil. Hal ini untuk melindungi industri rokok skala kecil yang kuota jumlah produksi per tahun yang lebih kecil dari Golongan II.

Usulan LaNyalla ini untuk merespon aspirasi dari Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) yang mendorong agar penerbitan cukai Golongan III SKM industri rokok murah, guna menekan peredaran rokok ilegal. 

LaNyalla menilai, industri rokok saat ini sudah terbebani tidak hanya oleh belanja pita cukai, tetapi juga PPN dari penjualan rokok dari produsen maupun distributor.

"Selain itu masih ada juga pajak daerah yang dikelola oleh pemerintah provinsi dan PPh yang dibayar setiap tahun atas keuntungan perusahaan rokok," kata LaNyalla dalam keterangan tertulisnya di Surabaya, Selasa 1 Juli 2025.

Di sisi lain, LaNyalla menilai terjadinya penurunan daya beli masyarakat kelas menengah dan bawah, yang juga menimpa perokok telah mengubah pola konsumsi konsumen, dari rokok mahal ke rokok murah.

"Terbentuknya segmen konsumen rokok murah ini kemudian menjadi pasar tersendiri bagi industri hasil tembakau untuk melayani. Persoalannya adalah tuntutan harga jual murah ke konsumen tidak berbanding dengan biaya produksi, cukai, pajak dan PPN. Akibatnya muncul rokok ilegal tanpa cukai," papar mantan Ketua Kadin Jatim ini.  

Tarif cukai Golongan III SKM industri rokok skala kecil, kata LaNyalla, bisa menjadi solusi jembatan antara demand di pasar dan penekanan peredaran rokok ilegal. Sebab, rokok ilegal ini selain merugikan dari sisi penerimaan negara, juga bisa menjadi ladang praktik korupsi dan kolusi oknum tertentu dengan menjadikan sumber penerimaan gelap dan pemerasan kepada pelaku industri dan penjual.

"Dan hal ini menghasilkan budaya yang tidak sehat di masyarakat. Karena mendidik masyarakat kita menjadi penyelundup dan penyuap," tegasnya.

LaNyalla tak menampik jika persoalan yang melingkupi industri hasil tembakau memang kompleks, terutama banyaknya sektor yang terlibat. Di mana satu dengan lainnya memiliki agenda yang berbeda. Terutama sektor kesehatan, yang didukung kampanye global untuk menurunkan jumlah perokok di dunia, termasuk Indonesia.

Sementara dari sisi para pelaku, industri hasil tembakau atau pabrik rokok tercatat menyerap sekitar 5,9 juta tenaga kerja di Indonesia. Sedangkan di sektor perkebunan, tercacat sekitar 2,3 juta petani yang terlibat dalam budidaya tembakau di Indonesia. Di sisi lain, cukai rokok masih menjadi sumber penerimaan negara yang cukup tinggi, yang tercatat sebesar Rp216 triliun lebih pada tahun 2023.

"Karena itu, mengelola persoalan dan isu seputar industri hasil tembakau dan perkebunan tembakau ini harus dilakukan dengan bijaksana. Harus ada keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan kesehatan. Untuk itu, pemerintah harus melibatkan semua pihak terkait dalam proses pengambilan keputusan," imbau LaNyalla.(*)

Tombol Google News

Tags:

LaNyalla Tarif Cukai Sigaret Kretek Mesin Industri Rokok Skala Kecil