KETIK, HALMAHERA SELATAN – Di sebuah ruang belajar sederhana di Kawasi, Pulau Obi, sekelompok pemuda duduk dengan mata tertuju pada papan tulis. Di depannya, instruktur membunyikan suara-suara fonetik yang asing di telinga: nǐ hǎo, xièxie, zàijiàn.
Bahasa Mandarin kini menjadi bahasa baru harapan. Dan di balik semua itu, ada sebuah nama yang tak asing dalam lanskap industri nikel Indonesia Harita Nickel.
Di tengah geliat industri nikel yang semakin terbuka terhadap arus investasi asing, terutama dari Tiongkok, Harita kembali mengambil langkah yang tak hanya strategis dari sisi bisnis, tapi juga bermuatan sosial.
Melalui program PELITA—Peningkatan Keahlian dan Keterampilan Pemuda, perusahaan ini tak lagi sekadar mencetak operator alat berat, tapi juga membekali generasi muda dengan alat komunikasi lintas budaya.
“PELITA bukan sekadar pelatihan keterampilan teknis. Ini tentang masa depan, tentang daya saing global,” kata Ifan Farianda, Community Development Manager Harita Nickel, dalam sebuah wawancara di akhir Juli.
Setelah dua batch sebelumnya berhasil melahirkan tenaga kerja lokal yang mumpuni di bidang teknis—dari operator wheel loader hingga pengendali overhead crane—kini pelatihan memasuki babak baru. Bahasa Mandarin dipilih sebagai fokus utama. Bukan tanpa alasan: perusahaan tambang yang berbasis di Jakarta itu menyadari bahwa komunikasi menjadi simpul vital dalam ekosistem industri nikel yang kini tak lagi sekadar nasional.
“Kerja sama dengan mitra dari Tiongkok kerap terbentur bahasa. Padahal, di lapangan, komunikasi adalah nyawa,” ujar Ifan.
Tak tanggung-tanggung, Harita menggandeng lembaga pelatihan bahasa dari Jakarta dengan jaringan internasional di Singapura untuk mendesain pelatihan ini. Kurikulumnya berbasis pada standar internasional HSK (Hanyu Shuiping Kaoshi) dengan target minimal kelulusan di level 3—tingkatan yang memungkinkan lulusan mampu menjadi jembatan bahasa dasar dalam lingkungan kerja.
Sebanyak 30 pemuda dari desa Soligi dan Kawasi terpilih. Mereka dibagi ke dalam dua jalur: satu untuk lulusan SMA yang belum bekerja, dan satu lagi untuk siswa aktif di bangku SMA kelas dua dan tiga. Sebuah strategi yang, menurut Ifan, bukan hanya merespons kebutuhan saat ini, tapi juga mempersiapkan masa depan mereka.
"Kami ingin membangun kesiapan sejak dini. Hari ini mereka belajar salam, besok mereka bisa jadi penerjemah, bahkan bekerja lintas negara."
Namun, keberhasilan program ini tidak berdiri sendiri. Harita mengakui pentingnya kolaborasi antara perusahaan, pemerintah desa, dan yang paling fundamental: keluarga. Pelatihan berjalan selama enam hingga tujuh bulan—masa yang menuntut kesabaran, dukungan emosional, dan ketekunan.
“Kalau kami hanya mengandalkan pelatihan, tanpa dukungan orang tua dan masyarakat, itu akan timpang. Kami perlu membangun ekosistem belajar yang utuh,” tambah Ifan.
Apa yang dilakukan Harita sesungguhnya bukan sekadar pelatihan, tapi sebuah intervensi sosial. Di tengah banyaknya wacana tentang industri ekstraktif yang acap kali meninggalkan luka ekologis dan sosial, Harita justru mencoba membalik narasi: dari tambang menuju pemberdayaan.
Lebih dari sekadar kemampuan bahasa, PELITA adalah investasi jangka panjang di tanah yang selama ini dianggap pinggiran. Program ini membuka ruang baru: bahwa pemuda dari desa pesisir bisa berbicara bahasa global, bisa berinteraksi lintas negara, dan yang terpenting—bisa bermimpi lebih besar.
Di desa yang dulu hanya identik dengan riuhnya aktivitas tambang, kini terdengar suara-suara baru. Suara anak muda yang tengah mengeja masa depan mereka, satu kata Mandarin demi satu kalimat kerja.
“Nǐ hǎo,” kata mereka. Tapi lebih dari itu, yang mereka ucapkan adalah: kami siap memasuki dunia.