KETIK, BANDUNG – Bupati Bandung Dadang Supriatna menegaskan Pemkab Bandung akan segera melakukan rapat koordinasi khusus dengan berbagai pihak guna mencegah terjadinya keracunan massal akibat mengkonsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG) seperti yang terjadi di beberapa daerah.
Bupati Bandung menyatakan kasus keracunan akibat menu MBG akan menjadi pembahasan khusus. Sebab menurutnya keracunan tidak hanya disebabkan satu faktor saja.
"Jadi, kami perlu membahas dan mempelajarinya lebih mendalam,” ujar Bupati Dadang Supriatna usai acara Penyerahan Petikan Keputusan Bupati Bandung tentang Pengangkatan PPPK Tahap II Formasi Tahun 2024 serta Pengambilan Sumpah dan Janji ASN di Lingkungan Pemkab Bandung, di Gedung Moh. Toha, Soreang, Kamis (25/9/2025) pagi.
Karena itu pihaknya akan mengundang unsur Forkopimda, Badan Gizi Nasional (BGN), pengelola dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) MBG, ahli gizi, akuntan, serta pihak-pihak terkait lainnya untuk melakukan analisis menyeluruh.
“Kami akan undang semua pihak untuk membahas dan menganalisis agar kejadian di daerah lain tidak terulang di Kabupaten Bandung,” tegasnya.
Kabupaten Bandung sendiri sebanyak 1,2 juta penerima manfaat akan menikmati program MBG ini, yang terdiri dari siswa PAUD, SD, SMP, dan PKBM.
Dengan jumlah penerima manfaat yang besar, bupati menekankan pentingnya pengawasan ketat dalam setiap tahapan penyelenggaraan program, agar tujuan peningkatan gizi anak benar-benar tercapai tanpa risiko kesehatan.
Sementara itu Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bandung Dr. M. Hailuki, MSi mengatakan pimpinan DPRD Kabupaten Bandung telah menugaskan ke seluruh anggota dewan untuk melakukan peninjauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program MBG di setiap Daerah Pemilihan (Dapil)-nya.
"Jadi, peninjauan oleh anggota Dewan di tiap Dapil ini intinya bertujuan untuk memastikan tidak terjadi kasus keracunan makanan MBG kepada siswa seperti di daerah-daerah lain," tandas Hailuki.
Luki menilai penyebab utama keracunan kemungkinan akibat lemahnya quality control (QC) terhadap produksi di unit SPPG, sehingga terjadi kontaminasi dalam kadungan makanan.
"Selain kontrol kualitas, penyebab lainnya bisa jadi terkait jadwal distribusi dan kuota produksi, yaitu untuk mengejar deadline distribusi. Maka SPPG melakukan produksi sejak dini hari bahkan malam sebelumnya," imbuh Luki.
Karena mengejar deadline distribusi, saat didistribusikan maka makanan sudah tidak segar atau mengalami proses dekomposisi. Akibatnya, kata Luki, saat dikonsumsi oleh siswa terjadilah toksikosis pada tubuh yang menyebabkan keracunan.
"Maka dari itu diperlukan proporsionalitas kuota produksi untuk setiap SPPG, agar kualitas produksi dan quality control menu MBG tetap terjaga," pesannya.(*)