KETIK, JAKARTA – Apakah kalian menyadari bahwa barang-barang yang dijual di pasaran dengan warna pink (merah jambu) seringkali lebih mahal dibandingkan warna lain?
Salah satu alasannya adalah fenomena pink tax (pajak merah jambu), di mana produk dan layanan yang ditargetkan untuk perempuan dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan produk untuk laki-laki.
Pink Tax bukanlah pajak resmi yang dikenakan pemerintah, melainkan strategi yang diterapkan oleh produsen atau penjual.
Perbedaan harga ini sering ditemukan pada produk perawatan diri seperti alat cukur, sabun, dan sampo versi perempuan yang cenderung lebih mahal dibandingkan versi pria.
Fenomena ini juga terjadi pada pakaian dan layanan jasa, misalnya potong rambut, laundry, hingga servis mobil.
Lantas, mengapa fenomena ini terjadi? Produsen memanfaatkan perilaku konsumen. Mereka menyadari bahwa perempuan sering merasa terikat pada produk yang secara khusus “dikhususkan untuk wanita” dan cenderung bersedia membayar lebih untuk produk yang memenuhi standar kecantikan tertentu.
Selain itu, standar sosial menuntut perempuan menghabiskan lebih banyak uang untuk penampilan, karena perempuan dianggap “harus” mengonsumsi produk tertentu agar dipandang menarik dan feminin oleh masyarakat.
Fenomena pink tax mulai mendapatkan perhatian luas pada tahun 1990-an di Amerika Serikat.
Awalnya, negara bagian California menyelidiki diskriminasi harga berbasis gender, terutama pada layanan jasa.
Pada 1996, California menetapkan undang-undang yang melarang perbedaan harga berdasarkan gender untuk layanan tertentu.
Sebuah studi di New York pada 2015 berjudul From Cradle to Cane: The Cost of Being a Female Consumer meneliti hampir 800 produk serupa untuk pria dan wanita.
Hasilnya, rata-rata produk perempuan harganya 7 persen lebih mahal dibandingkan produk untuk laki-laki. Sejak studi ini, istilah pink tax menjadi sorotan global dan memicu kesadaran serta perdebatan di berbagai negara.
Kehadiran fenomena ini menimbulkan kerugian finansial, karena perempuan bisa menghabiskan ribuan hingga jutaan rupiah lebih banyak dibanding laki-laki untuk kebutuhan sehari-hari yang sebanding.
Secara tidak langsung, pink tax merupakan bentuk diskriminasi yang tidak terlihat dan sulit dilawan, karena di banyak wilayah belum diatur oleh undang-undang perlindungan konsumen.
