KETIK, BANDUNG –
Pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) dalam Rancangan APBN 2026 hingga mencapai 24,5%, bikin pemerintah daerah rada panik. Saking paniknya kebijakan pemerintah pusat ini mendapat reaksi cukup keras dari kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten kota.
Guna mengantisipasi dampak dari pengurangan TKD ini, pemerintah daerah pun harus pandai-pandai mengeruk potensi pendatapan asli daerah (PAD), terlebih mengoptimalkan upaya untuk menggali potential lost pajak dan retribusi untuk bisa masuk ke kas daerah.
Pemda juga harus pandai membuat terobosan dan inovasi, participating interest sektor energi panas bumi bisa jadi salah satunya.
Dalam Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Bandung tentang Penyampaian Pengantar Nota Keuangan mengenai Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD Kabupaten Bandung 2026, di Gedung Paripurna DPRD Kabupaten Bandung Soreang, Senin 29 September 2025, Bupati Bandung Dadang Supriatna menyoroti adanya pengurangan alokasi TKD pada 2026.
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Keuangan nomor S/62/PK/2025, Kabupaten Bandung hanya akan menerima TKD sebesar Rp2,6 triliun, turun Rp935 miliar dari rencana awal sebesar Rp3,6 triliun.
“Kita sadari ada TKD yang berkurang, dari Rp3,6 triliun yang kita rencanakan, turun menjadi Rp2,6 triliun. Sementara untuk belanja gaji pegawai saja itu mencapai Rp2,5 triliun. Sehingga, kalau kita melihat postur APBD 2026, kalau mau balance, artinya ada program pembangunan yang harus dihapus. Maka terkait hal ini perlu pembahasan yang betul-betul komprehensif antara eksekutif dan legislatif,” jelas Bupati Dadang Supriatna.
Belum untuk belanja tunjangan kinerja (Tukin) pegawai yang otomatis akan berkurang selama beberapa bulan ke depan. Meski demikian, Bupati Kang DS tetap optimistis penyesuaian ini tidak akan berpengaruh terlalu signifikan terhadap pembangunan daerah.
“Saya siap dan selalu optimistis dengan adanya penyesuaian. Kita buatkan skema APBD-nya, yang paling penting saya sepakat bahwa belanja ini harus sesuai dengan keinginan kita bersama, yaitu berpihak kepada kepentingan masyarakat,” tandasnya.
Beberapa alternatif yang bisa dijadikan solusi pengurangan TKD antara lain dengan adanya tiga program prioritas Presiden Prabowo. Antara lain Program Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, dan Koperasi Desa Merah Putih. Menurutnya jika ketiga program tersebut mampu dikelola dengan baik, maka akan membuat perekonomian di Kabupaten Bandung berkembang pesat.
Selain itu, participating interest sektor panas bumi pun bisa dijadikan salah satu solusi. Sebagai salah satu daerah yang meiliki potensi dan penghasil energi panas bumi (geothermal) terbesar di Jawa Barat bahkan di Indonesia, Bupati Bandung Dadang Supriatna mengusulkan agar Kabupaten Bandung mendapatkan Participating Interest atau partisipasi kepentingan daerah penghasil tambang, sebagai dana bagi hasil saham.
Participating Interest ini memberikan kesempatan bagi daerah untuk memiliki saham dalam pengelolaan sumber daya alam tambang. Saham ini bisa menjadi sumber pendapatan aseli daerah (PAD) baru bagi daerah.
Menurut Bupati Dadang Supriatna yang juga menjabat Ketua Harian Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) ini, banyak contoh daerah lain yang setiap tahunnya surplus APBD, karena memiliki potensi pertambangan minyak dan gas.
“Nah, kita Kabupaten Bandung ini penghasil energi panas bumi terbesar di Jawa Barat bahkan Indonesia. Maka kita akan usulkan ke Kementerian Keuangan untuk mendapatkan Participating Interest ini,” kata bupati.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, sebut Kang DS, DBH panas bumi untuk provinsi mencapai 5% sementara untuk kabupaten/kota 10 sampai 15%.
Ttuntutan Kreatif Finansial
Menanggapi adanya pengurangan TKD ini, akademisi dan pengamat dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna menyarankan agar pemerintah daerah mencari sumber pendapatan alternatif, tapi dengan tidak melanggar parturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebab dengan adanya pemangkasan TKD ini, sambung Yayat, artinya bagi pemda dituntut untuk bisa melakukan kreatif finansial untuk mendapatkan sumber pendapatan lain. Misalnya, sebut dia, bagaimana caranya agar Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) ini bisa dibiayai yang sumbernya dari non APBD, namun tidak sampai melanggar peraturan.
Yayat mengakui pengurangan TKD ini tentu sangat berpengaruh, apalagi terhadap daerah-daerah yang Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya terbatas, sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu RKPD atau program kerja yang sudah disusun oleh pemda.
Termasuk bagi kepala daerah yang harus bisa memetakan kembali dan mengurangi target realisasi dari visi misi maupun janji politiknya semasa kampanye maupun pengurangan realisasi dari program-program yang sudah disusun dalam RKPD.
Belum lagi dari aspek keadilan, apakah bagi daerah yang berprestasi dan banyak berkontribusi ke keuangan negara yang berasal dari kekayaan sumber daya alam daerah bisa mendapatkan pemangkasan yang lebih proporsional?
“Sebagai solusinya, bisa tidak pemda mencari sumber-sumber pembiayaan alternatif lain. Misalnya yang bersumber dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan swasta yang beroperasi dan berkontirbusi ke daerah, atau dana bantuan dari pihak lain yang bersifat secara langsung maupun tidak langsung, ketimbang mengandalkan dana hibah dari pusat”, kata Yayat.
Potensi PI Tingkatkan Kemandirian Ekonomi Daerah
Sementara itu anggota Komisi XI DPR RI Ahmad Najib Qodratullah mendukung agar daerah bisa mendapatkan dana Participating Interest (Hak Partisipasi/Peran Serta) dari pengelolaan pertambangan energi panas bumi.
“Usulan Bupati Bandung sudah tepat, mengingat prinsip keadilan dan peran serta daerah terhadap sumber daya alam,” tandas Najib.
Dengan dukungan teknis dan regulasi, imbuh Najib, usulan Participating Interest (PI) geothermal berpotensi menjadi game-changer dalam mendongkrak PAD serta kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bandung.
Lebih lanjut anggota Fraksi PAN DPR RI ini mengungkapkan beberapa alasan yang perlu dipertimbangkan, sehingga Kabupaten Bandung layak mendapatkan PI geothermal.
Pertama, sebut Najib, terkait pengakuan potensi daerah Kabupaten Bandung. Menurutnya usulan Bupati Bandung Kang DS ini sangat tepat, karena Kabupaten Bandung merupakan salah satu penghasil energi panas bumi terbesar di Jawa Barat, bahkan Indonesia.
“Jadi, dengan mengambil bagian dari keuntungan lewat PI, ini akan meningkatkan kemandirian ekonomi daerah,” jelas anggota DPR RI dari Dapil Jawa Barat II ini.
Pertimbangan kedua, usulan PI geothermal menjadi salah satu cara untuk meningkatkan PAD Berkelanjutan. Najib menerangkan, dengan memiliki saham (PI), daerah bisa menciptakan sumber pendapatan baru di luar penerimaan pajak dan dana perimbangan.
“PI geothermal ini nantinya bisa mirip dengan daerah penghasil minyak dan gas yang selama ini di beberapa daerah mampu mencetak APBD mereka menjadi surplus,” kata dia.
Ada pun langkah yang perlu dilakukan Pemkab Bandung untuk mengusulkan ini, kata Najib, dengan melakukan audiensi langsung kepada kementrian terkait, guna menyampaikan usulan secara formal.
“Usulan formal tersebut harus disertai dengan kajian ekonomi dan regulasi yang mendalam. Setelah ada kajiannya, Pemkab Bandung bisa meminta audiensi secara formal untuk lebih jelas dengan kementerian terkait khususnya Kementerian Keuangan,” ungkapnya.
Lebih dari itu, langkah kolaborasi strategis yang saling mendukung antara Pemkab Bandung dan perusahaan panas bumi yang beroperasi di Kabupaten Bandung sangat diperlukan. Seperti seperti Pertamina Geothermal Energy (PGE) Tbk Area Kamojang, PT Geo Dipa Energi (Persero), maupun Star Energy.
Dukungan dari Perusahaan Panas Bumi
Seperti Direktur Utama PT Geo Dipa Energi Yudistian Yuni yang menyatakan pihaknya mendukung usulan Bupati Bandung terkait PI atau Hak Partisipasi atau Peran Serta Daerah dari hasil produksi panas bumi Kabupaten Bandung.
“Kita akan coba bawa ke Menteri Keuangan terakit usulan Participating Interest dari renewable energy panas bumi ini. Karena Geo Dipa sendiri berada di bawah Kementerian Keuangan juga,” kata Yudistian.
Yudi mengakui, dalam beberapa kesempatan pembahasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, sempat juga dibahas tentang Participating Interest dari sektor panas bumi.
“Undang-undang Nomor 21 tahun 2014 ini kan sudah 11 tahun. Jadi, sudah waktunya harus ada penyempurnaan agar Participating Interest dari sektor panas bumi ini bisa dijadikan pertimbangan, agar pengembangan panas bumi di daerah-daerah itu menjadi tambah kuat,” tandas Yudi.
Menurutnya, usulan revisi UU 21/2014 tentang Panas Bumi terkait Participating Interest ini bisa juga diusulkan melalui DPR RI.
“Pak Bupati juga kan menjabat Ketua Harian Apkasi, boleh diusulkan melalui DPR RI juga, selain berkirim surat ke Kementerian Keuangan, agar lebih kuat lagi usulannya,” kata Yudi.
Selama ini, kata Yudi, Pemkab Bandung baru mendapatkan retribusi dari pengelolaan panas bumi atau Dana Bagi Hasil (DBH). “Kalau persentase dari Participating Interest hingga saat ini memang belum,” ungkap Yudistian. (*)
