KETIK, HALMAHERA SELATAN – Ketegangan sosial dan ekonomi membayangi Pulau Obi, Kecamatan Obi Barat, Halmahera Selatan, pasca penutupan dua titik tambang emas ilegal oleh aparat gabungan Polda Maluku Utara dan Polres Halmahera Selatan beberapa bulan lalu.
Kebijakan represif tersebut memicu kegelisahan warga, yang kini mengajukan permohonan terbuka kepada Bupati Halmahera Selatan, Hasan Ali Bassam Kasuba, dan Gubernur Maluku Utara, Serly Joanda Laos, untuk mengupayakan legalisasi aktivitas pertambangan rakyat secara resmi dan berkelanjutan.
Penutupan itu, meski dilakukan atas dasar hukum positif khususnya dalam kerangka penegakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) nyatanya menimbulkan implikasi sosial yang signifikan. Masyarakat setempat yang selama ini menggantungkan hidup dari sektor tersebut kini menghadapi krisis ekonomi akut, kehilangan pekerjaan, serta kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar.
Lambolu tokoh masyarakat desa Manatahan (Foto: Riman/Ketik)
“Potensi alam di desa kami adalah anugerah Ilahi yang selama ini menjadi pilar ekonomi keluarga. Dari tambang, kami bisa menyekolahkan anak, memperbaiki rumah, bahkan para janda bisa ikut bekerja,” ujar Lambolu, tokoh masyarakat Desa Manatahan, Jumat 8 Agustus 2025.
Lambolu menegaskan, masyarakat tidak menolak hukum, namun membutuhkan jalan keluar yang adil dan akomodatif. Baginya, ketentuan hukum seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai alat represif, tetapi juga sebagai instrumen rekognisi dan pemberdayaan.
“Kalau diberi izin resmi, kami akan patuh pada aturan. Yang kami inginkan hanya kesempatan untuk bekerja secara legal, tanpa rasa takut, tanpa kejar-kejaran,” tambahnya.
Penutupan tambang ilegal di Pulau Obi mencerminkan dilema klasik antara supremasi hukum dan keadilan distributif. Sementara negara berkewajiban menegakkan hukum, pemerintah juga dituntut hadir dalam bentuk regulasi afirmatif yang memberikan akses legal kepada masyarakat lokal untuk mengelola kekayaan alam mereka sendiri.
Hingga kini, belum ada kejelasan dari pemerintah daerah mengenai langkah konkret untuk merespons aspirasi warga.
Ketiadaan mekanisme transisi yang humanistik dan terstruktur membuat masyarakat berada dalam kondisi menggantung—terjebak antara kebijakan yang sah secara hukum namun belum menyentuh keadilan substantif.
Dalam konteks ini, wacana legalisasi tambang rakyat melalui skema Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) menjadi sorotan utama. Pasal 22 UU Minerba mengatur bahwa pemerintah wajib menetapkan wilayah tersebut untuk memastikan hak akses masyarakat terhadap sumber daya alam secara legal, transparan, dan berkelanjutan.
Lambolu bilang masyarakat Obi tak menuntut kemewahan, hanya ruang hidup yang adil. Ia berharap agar Pemda Halmahera Selatan bersama Pemerintah Provinsi Maluku Utara tidak sekadar bersikap reaktif, tetapi aktif membentuk kebijakan afirmatif berupa legalisasi tambang berbasis kerakyatan—dengan pengawasan ketat dan kepatuhan lingkungan.
“Kami bukan kriminal. Kami hanya rakyat kecil yang ingin hidup layak dari tanah sendiri. Kalau dilarang tanpa solusi, lalu kami harus makan dari mana?” pungkas Lambolu.