Puluhan Ton Gula Numpuk di Gudang PG Gempolkrep Mojokerto, Petani Terhimpit Hutang

Akibat Serapan Tak Maksimal dan Maraknya Gula Rafinasi di Pasaran

20 September 2025 18:17 20 Sep 2025 18:17

Thumbnail Puluhan Ton Gula Numpuk di Gudang PG Gempolkrep Mojokerto, Petani Terhimpit Hutang
Tumpukan gula di Gudang PG Gempolkrep Mojokerto, 20 September 2025 (Foto: Sholahudin/Ketik)

KETIK, MOJOKERTO – Sebanyak 35 ribu ton gula menumpuk di gudang PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) PG Gempolkrep, Desa Gempolkrep, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto. Dari jumlah tersebut 8 ton di antaranya adalah milik petani di wilayah Mojokerto dan Jombang.

Ribuan ton gula ini masih menumpuk di Gudang salah satu penyebabnya adalah gula rafinasi yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman justru membanjiri pasar konsumsi dengan harga lebih murah.

“Di gudang saat ini ada sekitar 35 ribu ton gula yang belum terjual. Produksi harian kami mencapai 450–500 ton. Kalau ini terus berlanjut, penumpukan akan makin besar karena musim giling sudah 70 persen,” ujar Edi Purnomo, General Manager PT SGN PG Gempolkrep, Minggu 20 September 2025.

Harga gula konsumsi hasil pabrik gula rakyat kini berada di atas Rp15 ribu per kilogram. Sementara gula rafinasi yang beredar di pasaran dijual Rp14.300–Rp14.600 per kilogram. Selisih harga ini membuat pedagang lebih memilih rafinasi ketimbang gula produksi lokal.

Edi menuding, serapan gula oleh pemerintah melalui Daya Anagata Nusantara (Danantara) masih sangat kecil. Dari total produksi gula nasional yang nilainya mencapai Rp10 triliun, serapan pemerintah baru sekitar Rp1,5 triliun atau hanya 10 persen.

“Kami khawatir pasokan tebu ke pabrik terganggu. Petani kesulitan biaya operasional karena dana dari penjualan belum cair,” tambahnya.

Petani Terhimpit Utang

Kondisi ini paling dirasakan oleh petani. Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) Mojokerto, Mubin, menuturkan petani terhimpit utang karena hasil panen belum laku terjual.

“Petani sudah terikat kewajiban kredit ke bank. Kalau gula tidak laku, kami kesulitan membayar tepat waktu dan terancam penalti,” ucapnya.

Menurutnya, biaya operasional budidaya tebu per hektare bisa mencapai Rp25–30 juta. Jika penjualan macet, petani terpaksa menunda musim tanam berikutnya.

Mubin meminta pemerintah lebih tegas menertibkan peredaran gula rafinasi agar kembali sesuai aturan.

“Kalau tidak ada langkah lebih besar, petani akan terus merugi. Harapan kami, distribusi gula rafinasi diperketat supaya hanya masuk ke industri. Dengan begitu, gula konsumsi dari tebu rakyat bisa terserap di pasar,” tegasnya. (*)

Tombol Google News

Tags:

kabupatenmojokerto Mojokerto pggempolkrep