Praktisi Soroti Anggaran Pendidikan Surabaya, Sebut Tak Sesuai Amanat UUD

1 Juli 2025 20:10 1 Jul 2025 20:10

Thumbnail Praktisi Soroti Anggaran Pendidikan Surabaya, Sebut Tak Sesuai Amanat UUD
Praktisi Kebijakan Anggaran, Mauli Fikr saat hearing dengan Komisi D DPRD Surabaya. (Foto: Shinta Miranda/Ketik)

KETIK, SURABAYA – Praktisi Kebijakan Anggaran Mauli Fikr menyoroti soal anggaran pendidikan di Kota Pahlawan yang kurang dari 20 persen, nilainya hanya 19 persen dari total APBD yang mencapai Rp 12,3 triliun.

Sesuai ketentuan perundang-undangan, setiap pemerintah daerah seharusnya mengalokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pendidikan. Ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 ayat (1).

"Dalam data yang saya perhatikan, rendahnya komitmen pemkot terhadap pendidikan berdampak langsung pada tidak tercapainya target indeks pendidikan. Padahal ini indikator penting dalam IPM (indeks pembangunan manusia)," jelasnya pada Selasa 1 Juli 2025 di Gedung DPRD Surabaya.

Mauli menyebut kurangnya anggaran pendidikan berdampak besar bagi IPM di Kota Pahlawan hingga selama 4 tahun tidak pernah mencapai target.

Ia mencontohkan, masih banyak warga Surabaya yang harus mengikuti Paket C karena tidak menuntaskan pendidikan formal. Hal ini mengindikasikan masih adanya persoalan serius soal akses dan pemerataan pendidikan.

“Ini harus dijemput. Bisa jadi karena faktor ekonomi, atau akses yang masih terbatas. Apalagi beberapa kecamatan juga disebut masih kekurangan infrastruktur SMP. Ini perlu strategi baru dari Dinas Pendidikan dan Bappeda,” ujarnya.

Tak hanya itu, kenaikan anggaran untuk Kota Surabaya juga tidak terlalu berdampak bagi pendidikan di Kota Pahlawan.

“Ini kan tidak proporsional. Kalau APBD naik 20 persen, kenapa pendidikan cuma naik 3 persen? Sektor lain seperti pariwisata bisa saja kebagian lebih besar, padahal pendidikan adalah kebutuhan dasar dan spending-nya bersifat mandatory,” tegasnya.

Mauli mengungkap bahwa saat ini belanja fungsi pendidikan di Surabaya masih berada di peringkat ketiga, di bawah sektor pelayanan umum dan kesehatan. Padahal secara aturan undang-undang, belanja pendidikan seharusnya menjadi prioritas utama.

“Undang-undang jelas, pendidikan dulu baru kesehatan. Tapi Surabaya malah pendidikan nomor tiga. Ini harus jadi perhatian,” kata dia.

Ia pun mendorong agar Pemkot bersama DPRD menyusun grand design baru tata kelola kebijakan dan anggaran pendidikan, terlebih dengan adanya dinamika kebijakan nasional, seperti putusan Mahkamah Konstitusi terkait keadilan bagi sekolah negeri dan swasta.

“Kita tidak bisa lagi hanya terpaku pada angka 20 persen. Yang penting bagaimana anggaran pendidikan benar-benar dikelola secara efektif dan proporsional. Negeri dan swasta sama-sama harus mendapat perhatian karena menyangkut pendidikan dasar masyarakat,” pungkas Mauli Fikr. (*)

Tombol Google News

Tags:

Mauli Fikr Anggaran Pemkot Surabaya Anggaran Pendidikan Surabaya Praktisi Kebijakan Anggaran Surabaya