KETIK, SURABAYA – Tokoh pertanian Indonesia asal Jember Jawa Timur, HM Arum Sabil, resmi menyandang gelar Magister Kesehatan Lingkungan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Arum Sabil menerima SK kelulusan saat mengikuti proses Yudisium di FKM Unair, Jumat, 8 Agustus 2025 bersama sejumlah rekan seangkatannya.
Kini, Ketua Kwarda Pramuka Jatim yang juga Ketua DPD HKTI Jatim itu resmi menambah deretan gelar akademik, yakni HM Arum Sabil, S.P., S.H., M.KL.
Arum Sabil mengupas tesis bahaya penggunaan pestisida. Menurutnya, pertanian dan peternakan tidak akan lepas dari pertisida.
"Sederhananya, pestisida kimia itu bisa disebut racun dan bisa membunuh. Dari situlah saya terdorong meneliti bahaya pestisida dan seperti apa penggunaan yang tepat," tuturnya.
Tokoh pertanian Indonesia asal Jember Jawa Timur, HM Arum Sabil (tengah) berfoto bersama teman-teman seangkatan Jurusan Magister FKM Unair, Jumat, 8 Agustus 2025. (Foto: Khaesar/Ketik)
Berawal dari kegelisahan Arum sabil untuk mengetahui lebih dalam secara ilmiah tentang bagaimana penggunaan pestisida kimia yang benar dan terukur serta dampak-dampak dari paparan pestisida apabila sudah ada di tubuh manusia.
"Di situ juga penelitian tidak hanya mempelajari tentang dampak pestisida kimia, tapi akan terus berlanjut untuk meneliti dan menemukan pestisida alami dan organik," ungkapnya.
Hal tersebut sebenarnya sudah dilakukan Arum Sabil dalam temuan dan penggunaan yang bahannya dari alam. Hebatnya, temuan itu tidak berdampak negatif terhadap kesehatan manusia maupun makhluk yang lain.
Prinsip Arum Sabil bahwa pertanian adalah sumber pangan. Pangan akan dikonsumsi bukan hanya oleh manusia tapi makhluk yang lain.
"Sumber pangan harus bisa dipertanggungjawabkan dan disajikan sehat untuk hidup berkelanjutan," ujarnya.
Arum telah memetakan empat jenis penyakit yang berpotensi dialami petani akibat paparan pestisida, yaitu anemia, diabetes melitus, hipertensi dan gangguan fungsi hati. Data dikumpulkan melalui wawancara, kuesioner, serta pemeriksaan kesehatan langsung, termasuk tes gula darah.
“Hasilnya menunjukkan sebagian petani, terutama yang intens menyemprot, mengalami anemia. Memang jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi cukup untuk menjadi perhatian,” jelas pria yang menjadi Ketua Kwarda Gerakan Pramuka Jatim itu.
Menurut dia, salah satu faktor penyebabnya adalah kandungan bahan kimia berjenis Endocrine Disruption Chemical (EDC) dalam pestisida.
Bahan ini bekerja dengan merusak kelenjar endokrin pada hama sasaran. Namun, jika terhirup atau terpapar ke tubuh manusia, efeknya bisa mengganggu sistem endokrin petani dan memicu berbagai penyakit kronis.
Untuk mengurangi risiko tersebut, Arum menekankan pentingnya pendisiplinan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) saat penyemprotan, seperti masker, sarung tangan, dan pakaian pelindung.
Selain itu, ia juga memperkenalkan inovasi pestisida organik berbahan dasar alami.
“Kami kembangkan pestisida organik dari bawang putih dan bawang merah. Secara efektivitas, cukup baik dalam mengendalikan hama, dan jauh lebih aman dibandingkan pestisida berbahan kimia sintetis,” paparnya.
Upaya ini diharapkan dapat menjadi langkah awal mengurangi ketergantungan petani terhadap pestisida kimia berbahaya, sekaligus menjaga kesehatan dan produktivitas.
“Ke depan, kami ingin para petani bisa memadukan praktik pertanian sehat dengan inovasi ramah lingkungan, sehingga hasil panen tetap optimal tanpa mengorbankan kesehatan,” tutur Ketua Umum DPD Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jatim tersebut. (*)