KETIK, BLITAR – Kritik pedas terhadap pengelolaan keuangan Pemerintah Kota Blitar datang dari arah yang tak terduga: partai pendukung Wali Kota sendiri.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pengusung utama Wali Kota Syauqul Muhibbin atau yang akrab disapa Mas Ibin, menyoroti besarnya dana mengendap atau idle cash yang menumpuk di kas daerah hingga hampir Rp200 miliar.
Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Blitar mencatat, per 21 Oktober 2025, total dana mengendap mencapai Rp191,9 miliar. Angka ini memantik keprihatinan dari Totok Sugiarto, anggota Banggar dari Fraksi PKB, yang menyebut kondisi itu sebagai bukti lemahnya kinerja belanja pemerintah daerah.
“Surplus ini berasal dari selisih antara pendapatan dan belanja. Sangat disayangkan kalau dana sebesar itu tidak dimanfaatkan secara optimal,” ujar Totok, Kamis 23 Oktober 2025.
Menurutnya, perputaran uang daerah yang mandek bisa berdampak langsung terhadap lesunya ekonomi kota.
Ia memaparkan, hingga 21 Oktober 2025, realisasi pendapatan Kota Blitar tercatat sebesar Rp668,29 miliar, sementara realisasi belanja baru Rp529,83 miliar. Selisih sebesar Rp138,46 miliar ditambah Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) 2024 senilai Rp53,45 miliarmembentuk idle cash senilai Rp191,9 miliar.
“Pada akhir Juli lalu surplusnya masih Rp148 miliar, sekarang hampir Rp200 miliar. Artinya uang rakyat ini tidak berputar, padahal bisa mendorong ekonomi lokal,” ujar Totok menegaskan.
“Kami di DPRD berharap Pemkot segera mengambil langkah konkret agar dana tersebut tidak terus tidur di kas daerah,” jelasnya.
Totok menyebut, uang yang diam di kas daerah seharusnya bisa menjadi penggerak roda ekonomi. Jika disalurkan lewat proyek publik atau program masyarakat, kata dia, daya beli warga akan naik, inflasi bisa ditekan, dan geliat ekonomi kota akan lebih terasa.
“Ini ironis. Pertumbuhan ekonomi bisa naik kalau uang berputar di lapangan. Sekarang justru mandek,” tuturnya.
Pemerintah Kota Blitar tak tinggal diam. Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Blitar, Widodo Saptono Johannes, S.Sos., M.AB., menepis tudingan adanya dana nganggur.
Menurutnya, seluruh dana yang tercatat di kas daerah sudah memiliki peruntukan dan siap dicairkan sesuai jadwal kegiatan.
“Seluruh dana baik dari APBD, PAD, provinsi, maupun transfer pusat penggunaannya sudah diatur sesuai program yang ditetapkan,” kata Widodo.
Ia menjelaskan, dana tersebut berstatus on call atau siap digunakan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan kegiatan yang telah direncanakan.
“Analoginya seperti rumah tangga: kita punya tabungan untuk bayar sekolah, listrik, atau kebutuhan lainnya. Jadi bukan tidak digunakan, tapi menunggu saatnya dibayarkan,” ujarnya.
Widodo menegaskan, sistem pembayaran proyek pemerintah kini tidak lagi dilakukan di muka.
Pembayaran baru dilakukan setelah pekerjaan rampung 100 persen.
“Sekarang tidak ada lagi bayar di depan. Setelah bangunan kelar dan diperiksa, baru dibayarkan. Jadi wajar kalau uangnya masih tercatat di kas daerah,” terang Widodo.
“Intinya tidak ada dana nganggur. Bahkan jumlahnya bisa lebih dari Rp200 miliar, tapi semuanya sudah punya alokasi jelas.”
Sorotan dari Fraksi PKB partai pengusung utama wali kota menandai adanya ketegangan baru dalam dinamika politik anggaran di Kota Blitar.
Di satu sisi, DPRD menuntut percepatan realisasi belanja agar uang rakyat segera menggerakkan perekonomian. Di sisi lain, Pemkot mengklaim kehati-hatian dalam belanja adalah bentuk tata kelola keuangan yang disiplin dan akuntabel.
Bagi publik, yang paling penting bukan siapa yang benar, melainkan bagaimana uang daerah itu benar-benar kembali berputar di masyarakat bukan sekadar tertulis rapi di laporan kas pemerintah. (*)
