KETIK, BEKASI – Kontrak kerja sama antara Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi untuk Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang Bekasi akan berakhir di 2026.
Namun, permasalahan warga di kawasan TPST Bantargebang, Bekasi hingga kini tak kunjung usai. Sudah lebih dari tiga dekade masyarakat yang tinggal di dekat TPST Bantargebang harus menanggung berbagai dampak.
Seperti persoalan kualitas udara yang tidak sehat, ancaman pencemaran air tanah, hingga stigma sosial yang harus disematkan kepada wilayah tersebut sebagai 'kampung sampah'.
Melihat permasalahan tersebut, anggota DPRD Kota Bekasi dari Fraksi PKB, Wildan Fathurahhman mengatakan warga yang bermukim di.kawasan TPST harus menerima beberapa kompensasi yang menyentuh langsung ke masyarakat.
"Mengusulkan rumah sakit tipe D ada di Bantargebang, pemberian beasiswa penuh hingga perguruan tinggi bagi anak-anak warga di ring 1 TPST," ucapnya di Bekasi, Kamis 21 Agustus 2025.
Selain itu, sambungnya, pemberdayaan UMKM dan program padat karya juga harus menjadi prioritas warga yang terdampak TPST tersebut.
Wakil Ketua Komisi 4 DPRD Kota Bekasi tersebut juga mengatakan, isu TPST Bantargebang bukan hanya urusan teknis mengenai pengangkutan sampah saja. Tetapi ia mengistilahkan sebagai “uji keadilan metropolitan”.
“Jakarta tidak bisa bersih tanpa Bekasi. Tetapi Bekasi tidak boleh diperlakukan hanya sebagai tempat buangan. Bekasi harus diposisikan sebagai mitra strategis, bukan subordinat,” ujarnya.
Saat nanti kontrak baru dibuat, sambungnya, harus menetapkan kompensasi minimal Rp100 ribu per ton sampah atau setara Rp270 miliar pertahun. Selain itu, program lintas sektor di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan lingkungan wajib dipastikan hadir dan dirasakan langsung oleh warga.
“Evaluasi tahunan bersama DPRD, Pemkot, dan perwakilan masyarakat juga nanti akan menjadi prasyarat,” tambahnya.
Sementara itu, guna memperkuat posisi tawar, Wildan juga merekomendasikan langkah konkret, yakni membentuk tim negosiasi khusus yang melibatkan akademisi dan perwakilan masyarakat.
Rekomendasi lainnya adalah, melakukan audit lingkungan independen, menerapkan model kompensasi hybrid berupa uang dan program nyata serta mengatur pemanfaatan kompensasi melalui peraturan daerah.
Kerja sama yang baik tentunya akan membuat warga disekitar juga merasa diperhatikan. Oleh karena itu, kompensasi yang nanti direkomendasikan juga harus menjadi bahan pertimbangan. “Bekasi tidak sedang menolak kerja sama, tapi Bekasi memperjuangkan hak warganya atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana dijamin konstitusi,” pungkasnya.
Warga Bantargebang, menurutnya, adalah pahlawan lingkungan yang telah menjaga Jakarta tetap bersih. Sudah saatnya mereka dihargai dengan kompensasi yang adil, program yang nyata, dan kebijakan yang berpihak. (*)