KETIK, JAKARTA – “Hymne Guru” menjadi lagu wajib nasional Indonesia yang sering dinyanyikan pada momen penting di dunia pendidikan, terutama saat peringatan Hari Guru Nasional.
Setiap tanggal 25 November, yang juga bertepatan dengan Hari Ulang Tahun PGRI, lagu ini menjadi simbol penghormatan terhadap profesi pendidik di Indonesia.
Lagu ini diciptakan oleh Sartono, seorang mantan guru seni musik honorer di SMP Katolik Santo Bernardus, Madiun, Jawa Timur.
Pria kelahiran Madiun, 29 Mei 1936 ini belajar musik secara otodidak dan dikenal sebagai satu-satunya guru seni musik di wilayahnya yang mampu membaca not balok pada tahun 1978.
Dengan keterbatasan alat musik saat itu, ia menciptakan melodi lagu ini hanya dengan bersiul sambil menuliskan notnya.
“Hymne Guru” awalnya dibuat untuk mengikuti sayembara penciptaan lagu Hymne Guru yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional (kini Kemendikbudristek) dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional pada awal 1980-an.
Berkat kontribusinya,Ia memperoleh beberapa hadiah penghargaan dari Kemendikbud pada tahun 2000 dan 2005.
Karya Sartono berhasil memenangkan sayembara tersebut dan kemudian ditetapkan sebagai lagu wajib nasional pada tahun 1987.
Lagu ini mencurahkan semua ekspresi terima kasih dan penghargaan mendalam dari siswa kepada guru.
Lirik seperti “Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku” dan “Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku, sebagai prasasti terima kasihku” menegaskan bahwa jasa dan pengabdian guru akan dikenang selamanya.
Selain mendidik, guru diibaratkan sebagai penerang yang menghilangkan ketidaktahuan, “embun penyejuk dalam kehausan” yang memberi ilmu pengetahuan, serta pahlawan yang berjuang tanpa senjata melalui pendidikan.
Lirik lama yang berbunyi, “Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa,” kemudian diubah menjadi, “Engkau patriot pahlawan bangsa, pembangun insan cendekia.”
Perubahan ini disahkan melalui Surat Edaran PGRI Nomor 447/UM/PB/XIX/2007 yang dikeluarkan pada 27 November 2007.
Frasa “tanpa tanda jasa” dinilai beberapa pihak merendahkan martabat profesi guru, sehingga penggantian menjadi “pembangun insan cendekia” dianggap lebih mulia dan mencerminkan peran besar guru dalam mencetak generasi penerus yang cerdas dan berprestasi, sekaligus menegaskan kehormatan tinggi profesi guru.
