KETIK, SORONG – Keputusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra memecat Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS, dari jabatan Ketua DPC Gerindra Aceh Selatan mendapat apresiasi luas, termasuk dari aktivis muda Aceh, Wanda Assyura.
Langkah cepat DPP dipandang sebagai sinyal kuat bahwa kepemimpinan partai di bawah Presiden Prabowo Subianto tidak menoleransi kelalaian pejabat publik terutama saat Aceh sedang dilanda bencana besar yang menelan korban jiwa dan merusak infrastruktur secara masif.
Polemik bermula ketika Mirwan tetap berangkat umrah bersama keluarga meski wilayahnya berada dalam status darurat bencana.
Padahal, izin tersebut sebelumnya telah ditolak oleh Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), yang meminta seluruh kepala daerah tetap berada di lapangan untuk mengoordinasikan evakuasi dan distribusi bantuan.
Di tengah memburuknya kondisi Aceh Selatan ribuan warga mengungsi, puluhan rumah hanyut, dan jalan lintas nasional putus beredar foto-foto Mirwan beribadah di Tanah Suci. Unggahan itu memicu kemarahan publik. Di media sosial, kritikpun mengalir deras.
Hal demikian memicu banyak tanggapan dari berbagai kalangan, salah satunya dari aktivis pemuda Aceh Wanda Assyura, “Pemimpin pergi, rakyat ditinggal banjir, sangat tidak mempunyai empati dan mati rasa kemanusiaannya,” tegas Wanda. Sabtu, 6 Desember 2025.
DPP Gerindra merespons cepat. Sekjen Gerindra Sugiono, pada Jumat 5 Desember 2025 menyampaikan pernyataan tegas, DPP Gerindra memutuskan untuk memberhentikan yang bersangkutan sebagai Ketua DPC Gerindra Aceh Selatan.
Bagi masyarakat Aceh, ini bukan sekadar sanksi internal, melainkan penegasan moral bahwa partai penguasa tidak akan membiarkan pejabatnya absen di masa kritis.
Wanda Assyura menyebut keputusan tersebut sebagai langkah yang melindungi martabat partai dan sekali lagi menunjukkan komitmen Prabowo terhadap prinsip kepemimpinan tanggap bencana.
Menurut Wanda, sikap DPP perlu dibaca sebagai pesan keras kepada seluruh kepala daerah di Aceh. Dalam kondisi darurat, kata Wanda, pemimpin wajib hadir secara fisik, bukan berlindung di balik dalih birokrasi atau agenda pribadi.
Lebih jauh, Wanda mengingatkan bahwa ketidakhadiran bupati telah memperburuk penanganan bencana di Aceh Selatan. Beberapa desa, terutama di wilayah Trumon, dilaporkan telat menerima logistik karena lemahnya komando daerah. Padahal relawan, TNI–Polri, dan masyarakat bahu-membahu di lapangan.
Wanda menilai, setelah pemecatan ini, langkah berikutnya adalah evaluasi jabatan bupati. Menurutnya, moral partai sudah dijaga, kini giliran akuntabilitas jabatan publik ditegakkan. “Rakyat Aceh Selatan berhak dipimpin oleh seseorang yang hadir di lapangan, bukan hanya di baliho,” ujarnya.
Seruan ini sejalan dengan aspirasi publik. Di berbagai platform, warga meminta agar jabatan bupati Aceh Selatan dialihkan kepada pejabat yang lebih kompeten dan peduli, terutama menjelang masa rehabilitasi pasca-bencana yang membutuhkan pemimpin lapangan, bukan pemimpin administratif.
Wanda menegaskan bahwa langkah DPP Gerindra adalah preseden penting bagi tata kelola politik di Aceh. Menurutnya, partai telah mengirim pesan bahwa kedisiplinan, kehadiran, dan loyalitas kepada rakyat lebih utama daripada jabatan struktural.
Sebagai penutup, Wanda menyampaikan apresiasinya kepada Gubernur Muzakir Manaf yang sejak awal menolak izin umrah Mirwan dan terus memimpin langsung di lapangan, mengoordinasikan bantuan dengan TNI, BNPB, dan kementerian terkait.
Ia berharap proses pemakzulan dapat berjalan sesuai mekanisme hukum dan politik. “Saat rakyat sedang berjuang bertahan hidup, Aceh tidak boleh dipimpin oleh mereka yang memilih pergi,” pungkas. (*)
