KETIK, KONAWE SELATAN – Permasalahan lahan yang bertahun-tahun membayangi kehidupan para transmigran asal Sleman di Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara, mulai menemui titik terang.
Bupati Sleman, Harda Kiswaya dan Bupati Konawe Selatan, Irham Kalenggo melakukan pertemuan penting, membahas masalah transmigran Konsel dari Sleman pada Senin, 14 Juli 2025.
Termasuk merumuskan solusi atas sengkarut kepemilikan lahan yang membelit keluarga transmigran baik di wilayah Aronggo maupun di UPT Tolihe.
Menurut Kabag Hukum Pemkab Sleman Hendra Adi Riyanto, Selasa 15 Juli 2025 komitmen kedua kepala daerah ini diharapkan dapat mengakhiri ketidakpastian yang telah membelenggu para warga Sleman di tanah rantau.
Disebutkan dalam kesempatan sebelumnya Bupati Irham Kalenggo telah menegaskan komitmen kuatnya untuk menyelesaikan permasalahan ini demi memberikan kehidupan yang lebih layak dan pasti bagi para transmigran yang telah tinggal di Konsel selama sekitar sepuluh tahun.
Sedangkan Bupati Harda Kiswaya menyatakan kunjungan dirinya beserta tim dari Sleman adalah upaya konkret untuk memperkuat sinergi antar daerah serta mencari solusi komprehensif atas konflik lahan yang secara langsung memengaruhi warganya.
Adapun rombongan Bupati Sleman bersama Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Kalurahan, Kependudukan dan Pencatatan Silil DIY Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Yudanegara dijadwalkan akan berada di Konawe Selatan hingga Rabu 16 Juli 2025 untuk serangkaian pembahasan lebih lanjut.
Pada kesempatan tersebut KPH Yudanegara juga menyampaikan bahwa permasalahan ini mendapatkan perhatian dari Gubernur DIY.
”Transmigrasi merupakan salah satu upaya mengatasi permasalahan kependudukan yang ada. Apa yang ada di Konawe Selatan ini tentu akan saya laporkan kepada Sri Sultan HB X," tegasnya.
Sebelumnya, pada Selasa 17 Juni 2025 lalu Bupati Sleman dan jajaran terkait juga telah mengunjungi langsung permukiman warga Sleman di Konawe Selatan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai problematika yang dihadapi para transmigran.
Diketahui, dari total 25 kepala keluarga (KK) asal Sleman yang awal mulanya mengikuti program transmigrasi ini. Kini 13 KK lebih masih bertahan dalam kondisi ketidakpastian akibat masalah lahan yang tak kunjung usai.
Sejumlah transmigran asal Sleman, mengaku belum menerima haknya sesuai perjanjian kerja sama yang telah disepakati dalam program transmigran di Konawe Selatan.
Informasi tersebut disampaikan perwakilan transmigran asal Sleman di Desa Laikandonga dan Unit Pemukiman Transmigran (UPT) Tolihe saat disambangi Bupati Sleman.
Salah satu pokok permasalahan utama adalah lahan usaha seluas dua hektare yang seharusnya menjadi hak mereka sesuai kesepakatan kerja sama antar daerah. Namun belum sepenuhnya terealisasi hingga kini.
”Betul kami baru menerima yang pekarangan (tempat tinggal). Sedangkan untuk yang lahan garapan, kami semua belum menerima sedikitpun sesuai yang dijanjikan di awal” ungkap Ketua Paguyuban Transmigran di UPT Tolihe
Moh Dakir.
Pemerintah kala itu mengganti lahan yang belum terealisasi tersebut dengan bantuan berupa ternak sapi. Namun bantuan ini disinyalir tidak disertai adendum perjanjian yang jelas.
Kondisi ini membuat konflik kepemilikan lahan di area transmigrasi menjadi semakin kompleks. Terutama sejak tahun 2015 ketika para transmigran bersengketa atas lahan seluas 40 hektare.
Penyebabnya terjadi tumpang tindih antara perencanaan lahan transmigrasi dengan Pengelolaan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) atau populer sebagai Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Untuk itu kedua Kepala Daerah ini sepakat untuk melaporkan hal tersebut ke Pemerintah Pusat.(*)