KETIK, JEMBER – Sejumlah tokoh masyarakat dan warga Desa Pondokrejo, Kecamatan Tempurejo akhirnya bisa menumpahkan uneg-unegnya terkait persoalan lahan. Dalam rapat koordinasi yang digelar di kantor Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jember, Jumat sore, 4 Juli 2025, warga mempertanyakan soal proses realisasi pelepasan kawasan hutan yang telah disetujui sejak tahun 2023, namun hingga kini belum kunjung jelas.
Rapat tersebut difasilitasi oleh Anggota Komisi A DPRD Provinsi Jawa Timur, Eko Yunianto dan merupakan kelanjutan dari upaya warga dalam menindaklanjuti terbitnya Surat Keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.485/MENLHK/SETJEN/PLA.2/5/2023.
SK Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan itu, mencakup beberapa wilayah di Jawa Timur, termasuk Jember.
Menurut tokoh masyarakat Desa Pondokrejo, Soekarman Muhadi, masyarakat sudah menanti-nanti tindak lanjut dari SK pelepasan lahan kawasan hutan tersebut, namun hingga kini belum ada kejelasan soal batas wilayah, pengelolaan, maupun sertifikasi tanah.
“Desa kami semua wilayahnya masih masuk dalam kawasan hutan dan sudah didiami sejak tahun 1942. Alhamdulillah tahun 2023 turun SK pelepasan tanah kawasan hutan seluas 2.385,64 hektare untuk sejumlah wilayah, termasuk desa kami. Tapi hingga sekarang belum ada tindakan nyata dari lembaga terkait untuk menerbitkan sertifikat tanah,” ungkap Soekarman saat dikonfirmasi sejumlah wartawan usai rapat.
Ia menjelaskan, bahwa warga berharap pelepasan kawasan hutan itu meliputi pemukiman serta lahan pekarangan dan pertanian. Namun dalam kenyataannya, yang disetujui hanya untuk kawasan pemukiman.
Menjawab keluhan warga tersebut, Kepala Kantor Pertanahan Jember, Ghilman Afifuddin, mengatakan bahwa proses pelepasan tersebut belum bisa ditindaklanjuti karena masih menunggu SK resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang dikenal sebagai SK Biru.
"SK Biru itu adalah SK resmi pelepasan dari Kementerian Kehutanan yang memuat batas tanah dan nama-nama calon penerima sertifikat. Setelah itu turun, barulah BPN bisa bergerak melakukan pengukuran bidang dan proses sertifikasi," papar Ghilman.
Ia menambahkan, verifikasi awal sebenarnya telah dilakukan pasca Mei 2023 setelah terbitnya SK pelepasan kawasan hutan tersebut.
Namun tanpa adanya SK Biru, proses legalisasi belum bisa dilanjutkan. "Kami akan mulai pengukuran per bidang dan verifikasi fisik serta yuridis setelah SK Biru keluar. Kemungkinan proses dari BPN baru bisa dilakukan tahun depan, mengingat saat ini sudah mendekati akhir tahun anggaran,” ujarnya.
Anggota Komisi A DPRD Jawa Timur, Eko Yunianto, mengaku dirinya mendapat informasi persoalan yang dialami warga itu. Berawal saat adanya giat serap. Aspirasi masyarakat, yang dilakukan dirinya beberapa waktu lalu.
Eko berjanji akan terus mengawal persoalan ini. Menurutnya, peran Pemerintah Kabupaten Jember menjadi penting dalam proses pengajuan SK Biru tersebut.
“Dari serap aspirasi dan hasil mediasi ini, kami menyimpulkan bahwa kuncinya ada pada pengajuan dari Bupati Jember. Maka kami akan lanjut mendampingi warga agar hak atas tanah itu bisa segera mereka dapatkan,” tutur anggota Fraksi PDIP tersebut.
Ia juga menyampaikan bahwa bentuk pengajuan tersebut bisa dibangun melalui forum informal seperti “ngopi bareng” antara bupati dan perwakilan warga, agar aspirasi tersampaikan dengan lebih humanis dan langsung.
Menurutnya, SK Biru merupakan dokumen krusial dalam program Reforma Agraria, karena menjadi dasar hukum bagi BPN untuk melakukan pengukuran dan menerbitkan sertifikat tanah kepada masyarakat di kawasan hutan negara.
"Proses ini menjadi bagian dari agenda nasional dalam pemerataan hak atas tanah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa," pungkas Eko. (*)