Balita di Blitar Tewas Tersengat Listrik, Trafo PLN Diduga Dibiarkan Terbuka

24 Oktober 2025 09:31 24 Okt 2025 09:31

Thumbnail Balita di Blitar Tewas Tersengat Listrik, Trafo PLN Diduga Dibiarkan Terbuka
Kondisi Trafo PLN di Desa Popoh yang telah dipasang garis polisi, Jumat 24 Oktober 2025. (Foto: Favan/Ketik.com)

KETIK, BLITAR – Suasana duka menyelimuti Dusun Popoh, Desa Popoh, Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar. Seorang balita laki-laki berusia dua tahun sembilan bulan, berinisial SRR, tewas tersengat listrik dari trafo milik PT PLN (Persero) yang diduga minim pengamanan.

Peristiwa tragis itu terjadi pada Kamis siang, 23 Oktober 2025, sekitar pukul 13.00 WIB. Korban ditemukan tak bernyawa di dekat trafo yang berdiri di halaman rumah neneknya. Ironisnya, instalasi bertegangan tinggi itu dilaporkan tanpa pagar pembatas dan kunci pengaman dalam kondisi terbuka.

Bangun, ayah korban, menceritakan dengan suara bergetar kronologi detik-detik nahas itu. Saat kejadian, putranya tengah bermain di rumah sang nenek. Di saat sang nenek mandi, SRR berjalan ke arah trafo PLN yang berada hanya beberapa meter dari teras rumah.

“Anak saya main ke sana, ternyata trafo itu tidak terkunci. Dia buka pintunya, terus nyentuh bagian dalamnya. Langsung kesetrum,” tutur Bangun saat ditemui wartawan di rumah duka, Jumat 24 Oktober 2025.

Hanya sepuluh menit berselang, sang nenek panik ketika tak menemukan cucunya. Ia kemudian mendapati SRR sudah tergeletak tak bernyawa di dekat trafo. Warga berlarian memberi pertolongan, namun nyawa bocah itu tak tertolong.

“Trafo itu letaknya masih di pekarangan rumah mertua saya. Tidak ada pagar, tidak ada peringatan yang jelas. Ini jelas kelalaian,” tambah Bangun.

Setelah kejadian, keluarga korban sempat dimintai keterangan oleh kepolisian setempat. Namun, alih-alih merasa terlindungi, Bangun mengaku justru mendapat tekanan. Ia khawatir tragedi itu akan berbalik menjerat mereka dengan tuduhan lalai mengawasi anak.

“Kami sempat diminta autopsi, tapi polisi bilang ini bisa dianggap kelalaian orang tua. Ya kami jadi takut,” katanya lirih. “Kami cuma ingin anak kami tenang, tapi juga ingin ada tanggung jawab dari PLN.”

Keluarga akhirnya menolak autopsi dan memilih untuk memakamkan SRR sore harinya di TPU desa setempat. Namun, keputusan itu bukan berarti mereka menyerah mencari keadilan.

“Kami ingin PLN bertanggung jawab. Setidaknya mereka harus akui kesalahan dan pastikan gak ada lagi anak lain yang jadi korban kayak gini,” tegas Bangun.

Pihak PT PLN (Persero) hingga kini belum memberikan keterangan resmi atas peristiwa tersebut. Upaya konfirmasi yang dilakukan media kepada pihak Unit Layanan Pelanggan (ULP) terdekat tidak mendapat jawaban.

Sementara itu, Kepala Desa Popoh ketika dimintai konfirmasi justru memilih bungkam. “Belum bisa komentar, Mas. Nanti saja ya,” ujarnya singkat sebelum menutup telepon.

Sikap tertutup ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah desakan publik agar tragedi tersebut diusut tuntas.

Pakar keselamatan listrik menilai kasus seperti ini seharusnya tidak terjadi jika standar keselamatan instalasi listrik dijalankan dengan ketat. Setiap trafo, terutama yang berlokasi dekat permukiman, wajib dilengkapi pagar pelindung, tanda bahaya, dan sistem penguncian sesuai ketentuan Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2019 tentang Keselamatan Ketenagalistrikan.

Minimnya pengawasan terhadap infrastruktur kelistrikan di daerah-daerah menjadi catatan penting. “Satu kelalaian kecil di sistem distribusi bisa berakibat fatal. Anak-anak adalah kelompok paling rentan,” ujar seorang pemerhati kelistrikan dari Universitas Negeri Malang yang enggan disebut namanya.

Kini, kematian SRR menjadi pengingat pahit tentang bahaya yang bisa mengintai di tengah kelalaian pengelolaan infrastruktur dasar. Sementara keluarga masih berduka, publik menanti langkah nyata PLN dan aparat penegak hukum dalam mengungkap fakta sebenarnya.(*)

Tombol Google News

Tags:

PLN Tragis balita tewas Trafo Kesetrum listrik Blitar Kabupaten Blitar