Sosok Syaiur Rohman, Aktivis Pertanian yang Nahkodai HKTI Pacitan

Mimpi besarnya: petani Pacitan naik kelas hingga bisa ekspor

26 Juni 2025 13:06 26 Jun 2025 13:06

Thumbnail Sosok Syaiur Rohman, Aktivis Pertanian yang Nahkodai HKTI Pacitan
Dari kiri: Ketua HKTI Cabang Pacitan, Syaiur Rohman dan Ketua terpilih DPN HKTI, Sudarsono (Wakil Menteri Pertanian RI) dalam acara Munas ke-10, Rabu, 25 Juni 2025. (Foto: Naufal/Ketik)

KETIK, PACITAN – Pernah gagal, pernah rugi, dan pernah merasa ditinggal dalam gelap. Dari luka-luka itulah, Syaiur Rohman, pemuda asal Desa Losari, Kecamatan Tulakan belajar pertanian bukan sekadar mata pencaharian, tapi jalan hidup.

Hari ini, ia dikenal sebagai Ketua HKTI Cabang Pacitan, pemuda 30 tahun yang kembali dari gemerlap kota dan memilih bertani di kampung halaman, Kabupaten Pacitan.

Di balik senyum hangat dan postur bersahaja, tersimpan jejak panjang perjuangan Syaiur Rohman yang tak selalu mulus.

Ia hanya anak petani kecil yang menjajakan hasil panen seadanya, mengikuti jejak orang tua.

"Sejak kecil saya hidup di pematang sawah. Biasa diajak orang tua bertani. Karena itulah, saya tidak pernah malu menjadi pemuda yang suka bertani," katanya kepada Tim Ketik, Rabu, 26 Juni 2025.

Ia menyelesaikan pendidikan menengah kejuruan di SMKN Ngadirojo dengan jurusan Agribisnis Pertanian. Melanjutkan minatnya di bidang yang sama, ia kemudian menempuh studi di Universitas Muhammadiyah Malang pada program studi Agroteknologi.

Selama masa kuliah, Rohman sapaan akrabnya aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Jurusan Agroteknologi.

Kendati begitu, Rohman tak seperti mahasiswa lain yang bisa fokus penuh berkuliah. Ia harus berjualan hasil tani, seperti holtikultura, cabai, buah-buahan demi menyambung biaya kuliah.

Tak hanya itu, ia juga nekat membuka warung kopi dengan menyewa rumah kontrakan di pinggiran kampus.

"Setelah lulus SMK, saya melanjutkan kuliah sambil berwirausaha karena berasal dari keluarga petani sederhana. Saya menjual hasil pertanian dan juga sempat membuka warung kopi," ceritanya.

Namun nahas. Bisnis kecil itu gulung tikar, dan ia kehilangan segalanya dalam waktu yang singkat. Ia tidur numpang kemana-mana, makan seadanya, dan berjuang untuk tetap berkuliah seolah tak terjadi apa-apa.

Usaha tersebut harus tutup karena rumah yang dia kontrak itu diambil alih oleh pemiliknya sendiri.

"Ya salah satunya karena kurang manajemen bisnis, kan saya ngontrak nyoba tidak langsung lama, cuma 2 tahun dulu. Ternyata berhasil ramai. Kontrak sudah habis tapi tidak boleh diperpanjang. Akhirnya diambil alih sama pemilik, dia malah buka usaha sendiri," kenangnya getir.

Selepas kuliah nasib Rohman agak mujur, ia sempat diterima menjadi staf peneliti dosen UMM untuk penelitian kekerabatan DNA sorgum dan bekerja di BUMN besar selama 5 tahun. 

Cukup nyaman, dan semua tampak berjalan ideal. 

Namun satu hal selalu mengusiknya: kampung halamannya jauh tertinggal, petani-petani tua masih mengadu nasib sendiri.

Pun ia memilih mengambil keputusan besar: meninggalkan kariernya di kota, pulang ke Pacitan, dan menyingsingkan lengan baju untuk kembali bertani dan mendampingi petani kecil.

"Pulang untuk mengamalkan ilmu yang saya dapat untuk mengembangkan daerah kelahiran. Karena banyak sekali urbanisasi dari desa ke kota oleh pemuda-pemuda," ungkapnya.

Rohman sempat mencalonkan diri sebagai kepala desa, mencoba jalur politik agar bisa lebih leluasa membantu masyarakat.

Tapi takdir berkata lain, ia kalah. Lagi-lagi, harus menelan kenyataan pahit. Tapi ia tak lari.

Setelah sempat mencalonkan diri sebagai Kepala Desa meski belum berhasil. Rohman terus melanjutkan pengabdian di sektor pertanian. 

Karena kegigihannya, ia pun dipercaya menjadi Tenaga Ahli (TA) Ketua DPRD Kabupaten Pacitan yang membidangi urusan pertanian, perkebunan, dan peternakan.

"Alhamdulillah, saya masih komitmen untuk terus terlibat dalam advokasi dan kebijakan yang berpihak kepada petani dan pelaku usaha tani di daerah," katanya bersyukur.

Pengalamannya yang penuh luka membuatnya kini memahami sepenuhnya penderitaan, termasuk asa dari para petani Pacitan. 

Ia menyebut bahwa sistem pertanian Indonesia masih menyisakan banyak celah masalah. Seperti, pupuk langka, harga jual dipermainkan, program bantuan tak merata, dan minim regenerasi.

Syaiur sadar, jika generasi muda tidak mau bertani, maka nasib pertanian ke depan akan suram. Ia kini aktif mendorong kaum muda untuk tak malu menggeluti dunia pertanian.

“Anak muda harus bangga jadi petani. Ini bukan waktunya untuk gengsi lagi,” gagasnya.

Ia pun sering turun ke sekolah dan komunitas pemuda, menceritakan kisahnya: bukan untuk dikasihani, tapi untuk menyadarkan bahwa di balik duka bertani, ada harga diri yang tak bisa dibeli.

Dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan, Syaiur punya mimpi besar: petani Pacitan naik kelas. Bukan cuma sebagai penghasil, tapi sebagai pemilik dan pengendali produk hingga diekspor.

“Kami mengupayakan pendampingan inovatif berbasis petani modern dan mendorong kerja sama dengan pemerintah serta dinas pertanian agar kebijakan lebih selaras dan implementatif," jelasnya.

Ia ingin ada ekosistem pertanian yang benar-benar sehat. Di mana petani tidak hanya hidup, tapi juga layak dan sejahtera.

"Saya ingin petani tidak lagi dipandang sebelah mata. Mereka adalah tulang punggung kehidupan. Saya harap seluruh stakeholder dari pemerintah hingga lembaga swasta benar-benar turun tangan membantu petani dari hulu sampai hilir, bukan hanya slogan semata," gagasnya.

Kini sebagai Ketua HKTI Pacitan, Syaiur memfokuskan diri pada: Pendampingan petani dari hulu hingga hilir, menghadirkan kebijakan yang menyentuh petani lapisan terbawah, menjembatani akses petani ke pasar ekspor dan teknologi.

“Banyak yang tanya, kenapa mau bertani? Bukankah bisa kerja enak di kota? Saya jawab: karena saya tahu rasanya lapar. Dan saya tahu siapa yang memberi makan bangsa ini adalah petani," tutupnya. (*)

Tombol Google News

Tags:

pacitan HKTI Pacitan Syaiur Rohman petani muda Pertanian Pacitan regenerasi petani ketahanan pangan Profil Tokoh Pemuda Tani HKTI Jawa Timur Petani Pacitan