Izin Tambang Eksplorasi Emas PT AMP di Abdya Ditolak, Perusahaan Lain Dibiarkan?

29 Agustus 2025 01:13 29 Agt 2025 01:13

Thumbnail Izin Tambang Eksplorasi Emas PT AMP di Abdya Ditolak, Perusahaan Lain Dibiarkan?
Ilustrasi - penolakan terhadap hadirnya PT Abdya Mineral Prima yang telah mendapat IUP Eksplorasi dari pemerintah dan ditolak warga. (Foto: ChatGPT)

KETIK, ACEH BARAT DAYA – Sengkarut suara penolakan tambang kian menggema di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Nama PT Abdya Mineral Prima (AMP) mendadak jadi bahan perbincangan hangat. Spanduk penolakan terpasang di beberapa titik, diskusi publik rencana digelar mahasiswa, hingga tokoh masyarakat bersuara lantang.

Namun, di tengah hiruk pikuk itu, muncul pertanyaan yang tak kalah keras: mengapa hanya PT AMP yang jadi sasaran? Padahal, perusahaan lain yang sudah lebih dulu membuka jalan, menggali tanah, dan mengeksplorasi di wilayah yang sama, justru seakan tak tersentuh kritik.

Hafiz, warga Kecamatan Babahrot, merasa ada yang janggal. Ia menunjuk beberapa titik di desanya yang sudah lama dirambah perusahaan tambang. Jalan setapak berubah jadi jalur lebar, pepohonan digusur, dan tanah dikeruk.

“Kalau alasan menolak tambang karena kerusakan lingkungan, mestinya semua perusahaan ditolak, bukan hanya PT Abdya Mineral Prima. Ini sangat naif,” katanya, Kamis, 28 Agustus 2025.

Menurutnya, di kawasan Babahrot dan sekitarnya, sudah ada beberapa perusahaan yang sejak lama melakukan kegiatan eksplorasi. Aktivitas itu bahkan meninggalkan jejak yang jelas terlihat, mulai dari pembukaan jalan baru hingga penggalian awal di sejumlah titik.

“Kalau bicara fakta, ada yang sudah masuk lebih dulu, membuka lahan, membuat jalan, tapi justru tidak pernah ramai dibicarakan. Yang jadi sorotan hanya perusahaan yang belum beroperasi. Saya kira ada sesuatu yang perlu diluruskan di sini,” tambahnya.

Secara administratif, PT Abdya Mineral Prima jelas memiliki legitimasi. Perusahaan ini mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dengan nomor SK 540/DPMPTSP/91/IUP-EKS/2025. Izin itu berlaku sejak 17 Januari 2025 hingga 17 Januari 2033, dengan wilayah kerja seluas 2.319 hektare. Namun, kertas izin yang sah di mata hukum ternyata tak serta-merta membuat langkah mereka diterima di lapangan.

Lokasi site beberapa desa di Kecamatan Kuala Batee, termasuk Gampong Bahagia, Panton Cut, Kampung Tengah, Blang Panyang, Drien Beurumbang, Krueng Batee, hingga Alue Pisang dengan status IUP Aktif.

Perusahaan ini dipimpin oleh Direktur bernama R Andriana Pramana dan beralamat di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Dengan IUP yang berlaku hingga tahun 2033, PT Abdya Mineral Prima memiliki legitimasi penuh untuk melaksanakan tahapan eksplorasi di Abdya.

Namun, legitimasi administratif ini ternyata tidak serta-merta membuat perusahaan berjalan mulus di lapangan, sebab gelombang penolakan sosial justru semakin menguat.

Hafiz, menilai fenomena penolakan yang hanya diarahkan pada satu perusahaan bisa memicu konflik sosial.

“Jika masyarakat hanya menolak satu perusahaan, padahal ada beberapa yang beroperasi di wilayah sama, maka isu yang diangkat rawan dipolitisasi. Ini bisa menimbulkan perpecahan di masyarakat karena ada yang pro dan kontra, atau bahkan saling curiga,” katanya.

Menurutnya, pemerintah daerah perlu mengambil peran lebih aktif untuk memastikan transparansi. 

Setiap perusahaan yang memiliki izin harus diawasi ketat dan hasilnya dipublikasikan ke publik. Dengan begitu, masyarakat dapat menilai berdasarkan data dan fakta, bukan sekadar isu.

“Kalau pemerintah diam saja, masyarakat akan bingung. Apalagi kalau hanya satu perusahaan yang ditolak ramai-ramai, sementara yang lain tidak. Ini bisa menimbulkan prasangka buruk. Harus ada sikap resmi dari pemerintah, apakah menutup, menghentikan sementara, atau melanjutkan dengan pengawasan ketat,” tegas Hafiz.

Ia mengingatkan, dampak tambang terhadap lingkungan di Abdya tidak bisa disepelekan. Daerah ini memiliki ekosistem penting, termasuk daerah aliran sungai dan hutan penyangga. Jika tambang tidak dikendalikan, ancaman banjir, longsor, dan pencemaran hanya tinggal menunggu waktu.

“Pengalaman di daerah lain sudah jelas, tambang sering meninggalkan kerusakan. Jangan sampai di Abdya kita mengulang hal yang sama,” tambahnya.

Di tingkat masyarakat, isu tambang menimbulkan pro dan kontra. Sebagian menolak dengan alasan lingkungan, sementara sebagian lainnya melihat tambang sebagai peluang ekonomi.

Wahyu, tokoh pemuda di Kecamatan Kuala Batee, menilai tambang tidak bisa serta-merta ditolak tanpa pertimbangan manfaat.

“Kalau hanya merusak dan masyarakat tidak dapat apa-apa, tentu kami menolak. Tapi kalau ada transparansi, ada lapangan kerja, ada kontribusi nyata untuk daerah, tentu akan dipertimbangkan. Jadi jangan langsung dibawa ke arah penolakan mutlak,” katanya.

Namun ia juga menyoroti ketidakadilan dalam isu ini. “Kalau mau menolak, tolak semua. Jangan pilih kasih. Karena kesannya ada kepentingan tertentu yang sedang dimainkan,” ujar Wahyu.

Menurutnya, satu-satunya jalan keluar dari permasalahan tersebut adalah membuka data secara transparan.

“Siapa saja perusahaan yang sudah punya IUP, siapa yang sudah eksplorasi, mana yang sudah eksploitasi, semua harus dibuka ke publik. Jangan hanya ketika ada penolakan baru muncul. Transparansi akan membuat masyarakat tenang dan tidak mudah diadu domba,” ujarnya.

Hingga kini, pemerintah daerah masih bungkam. Tak ada pernyataan resmi apakah mereka akan mengikuti arus penolakan, atau justru melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh perusahaan tambang di Abdya. Padahal di Abdya sendiri ada sejumlah perusahaan tambang beroperasi, seperti bijih besi, galian C dan lainnya. Namun, sorotan tajam hanya tertuju ke PT AMP yang bergerak sebagai perusahaan tambang emas.

Masyarakat kini menunggu kepastian. Sementara itu, satu pertanyaan tetap menggantung di udara: mengapa hanya satu perusahaan yang dipersoalkan, sementara lainnya bebas melenggang? (*)

Tombol Google News

Tags:

PT Abdya Mineral Prima Aceh Barat Daya abdya Aceh . Tambang emas Ekplorasi Emas Emas Abdya PT AMP kuala batee babahrot