KETIK, BATU – Usia Kota Batu bertambah tepat Jumat, 17 Oktober 2025 hari ini. Berbicara mengenai sejarah Kota Batu tidak bisa lepas dari kisah Abu Ghonaim yang merupakan pengikut Pangeran Rojoyo selaku pejabat Tumenggung Kadilangu.
Pangeran Rojoyo mbalelo atau membangkang untuk menghindari konflik para Adipati yang bersikap pro dan kontra terhadap Kolonial Belanda.
Debora Sulistyo, S.pd MM dalam Buku asal Usul Nama Desa, Kelurahan dan Tempat di Kota Batu yang diterbitkan oleh Kantor perpustakaan dan Kearsipan Pemkot Batu tahun 2011 menceritakan,
Abu Ghonaim atau disebut dengan nama Kiai Gabung Angin, oleh masyarakat setempat biasa dipanggil dengan nama Mbah Wastu. Kemudian disingkat Mbah tu atau Mbatu.
"Oleh sebagian anak keturunannya (Abu Ghonaim) diyakini bahwa nama inilah yang mengilhami nama batu. akan tetapi berdasarkan bukti sejarah nama batu sudah ada sejak zaman Majapahit berdasarkan bukti prasasti," tulisannya.
Abu Ghonaim berasal dari Jawa Tengah. Ia bersama pengikutnya hijrah untuk mempertahankan kebenaran keyakinan dan prinsip hidupnya yang tidak mau di bawah kekuasaan para penjajah.
Kemudian, menurut Debora, mereka mencari daerah baru, berkelana berbulan-bulan masuk keluar hutan. Sampai pada akhirnya sampailah mereka di sebuah tempat di mana kuda mereka mogok jalan atau mberu.
Mberunya kuda tunggangan Abu Ghonaim sebagai petunjuk bahwa tempat ini cocok untuk mereka. Akhirnya ia memerintahkan pada para pengikutnya untuk berhenti di tempat itu saja. Beru saat ini menjadi sebuah nama Desa di Kecamatan Bumiaji Kota Batu.
"Beru sebenarnya bisa diartikan Mbalelo tidak mau menuruti maunya Abu Ghonaim untuk melanjutkan perjalanan. Syahdan tempat tersebut pada akhirnya diberi nama Mberu," urainya.
Di tempat barunya tersebut, Abu Ghonaim kemudian mengajarkan ilmu agama Islam kepada penduduk sekitar. Penduduk sekitar tertarik terhadap ajaran baru yang dibawa oleh Abu Ghonaim. Sehingga banyak dari mereka memeluk memeluk agama Islam
Abu Ghonaim, lanjut Debora, merupakan tokoh penting dalam penyebaran Islam di Batu. Kemudian para pengikutnya disebar. Untuk daerah Mberu diberikan ke Rondo Kuning dengan Den Karyo. Tlogorejo diberikan ke Onggo, pendatang dari Jumawa. Konon Onggo ini masih saudara Abu Ghonaim.
"Dan daerah baru yang ingin dibangun saat itu diserahkan kepada sabar iman dan Sabaruddin. Mereka dua bersaudara, pengikut setia Abu Ghonaim. Daerah mereka ini diberi nama Binangun yang artinya membangun," jelasnya.
Setelah tutup usia, Abu Ghonaim atau Mbah Batu dimakamkan di Desa Bumiaji Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Makam Mbah Batu pun kini menjadi destinasi wisata religi yang banyak diziarahi oleh masyarakat Kota Batu maupun Kabupaten Malang.
Batu sebelumnya merupakan kecamatan di bawah Kabupaten Malang. Yang kemudian dinaikkan menjadi Kota Administratif pada tanggal 6 Maret 1993 dengan Walikota pertamanya Drs. Chusnul Arifien Damuri.
Kelahiran itu berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 tahun 1993 tentang Peningkatan Status Kecamatan Batu menjadi Kotatif Batu yang terdiri dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Batu (wilayah pusat), Kecamatan Bumiaji (wilayah utara) dan Kecamatan Junrejo (wilayah selatan).
Setelah hampir 8 tahun menjadi Kota Administratif yang diperintah oleh 3 Walikota, yaitu Drs. Chusnul Arifien Damuri, Drs. Gatot Bambang Santoso dan Drs. Imam Kabul, akhirnya Batu ditingkatkan statusnya menjadi Pemerintah Kota Batu pada tanggal 28 Mei 2001.
Tanggal 30 Juni 2001 UU No. 11 tentang Peningkatan Status Kota Administratif Batu disahkan, setelah beberapa bulan kemudian yaitu pada tanggal 17 Oktober 2002 secara resmi Kotatif Batu ditingkatkan statusnya menjadi Pemerintah Kota.
Ketua Presidium Pokja Peningkatan Status Kota Batu, Andrek Prana menegaskan bahwa perjuangan peningkatan status Kota Batu bukan sekadar unjuk rasa dan audiensi ke pusat, melainkan juga melalui penyusunan konsep pembangunan yang matang.
"Kami membawa satu konsep kuat Batu Kota Bernuansa Desa. Konsep ini yang dulu menjadi ruh perjuangan kami. konsep ini sederhana tapi kuat, mudah dipahami pemerintah, mudah diterapkan masyarakat dan bisa melindungi karakter Batu,” katanya, saat acara Sarasehan bertajuk Refleksi Menuju Seperempat Abad Kota Batu Sebagai Daerah Otonom di Graha Pancasila Balai kota Among Tani, Selasa 14 Oktober 2025.
Andrek menegaskan, konsep itulah yang kemudian dibawa Pokja peningkatan status Kota Batu ke DPR RI dan menjadi dasar pertimbangan lahirnya Kota Batu sebagai daerah otonom pada 17 Oktober 2001.
“Jadi kami ini tidak asal. Kami datang membawa konsep, kami presentasikan ke pusat. Akhirnya mereka paham dan setuju bahwa Batu memang layak menjadi kota,” tuturnya.
Ia menyampaikan apresiasi kepada para pemimpin Kota Batu dari masa ke masa, mulai Imam Kabul, Eddy Rumpoko, Dewanti Rumpoko, hingga Pj Aries Agung Paewai yang dinilai telah membawa kota ini berkembang pesat.
Andrek berharap, konsep Batu Kota Bernuansa Desa yang lahir dari semangat warga Kota Batu bisa kembali dipertimbangkan dan dijalankan.
“Siapapun wali kotanya nanti, Batu butuh arah yang jelas, konsep yang menjadi pedoman jangka panjang,” katanya. (*)