KETIK, SURABAYA – Menjelang Halloween, banyak orang mencari film yang bisa memacu adrenalin atau menghadirkan ketakutan lewat jumpscare. Namun, Cure (1997) karya sutradara Jepang Kiyoshi Kurosawa menawarkan jenis teror yang berbeda, yakni lebih sunyi, lebih lambat, dan justru karena itulah terasa jauh lebih mencekam.
Hampir tiga dekade lebih sejak perilisannya, film ini masih menjadi contoh sempurna bagaimana horor psikologis dapat menembus ruang kesadaran penonton tanpa perlu menampilkan makhluk gaib atau darah berlebihan.
Film ini mengikuti detektif Takabe (Koji Yakusho) yang menyelidiki rangkaian pembunuhan brutal di Tokyo. Setiap korban ditemukan dengan luka berbentuk ‘X’ di bagian leher hingga dada, dan yang lebih membingungkan, para pelaku selalu tampak tidak sadar mengapa mereka melakukannya. Di balik semua itu, muncul sosok misterius bernama Mamiya (Masato Hagiwara), seorang yang diduga kehilangan ingatan dan tidak diketahui asal-usulnya, yang nantinya akan menjadi ‘kunci’ dari seluruh alur kisah ini.
Kurosawa menciptakan ketegangan bukan melalui teriakan atau musik keras, melainkan lewat hal-hal sederhana yang biasanya kita abaikan. Dalam Cure, korek api, tetesan air, dan tanda ‘X’ bukan sekadar properti, melainkan simbol-simbol ketakutan yang perlahan menelusup masuk ke alam bawah sadar penonton.
Saat Mamiya menyalakan korek api, gerakan lambat dan bunyi percik apinya terasa seperti mantra. Benda mati itu menjadi alat pemicu, sesuatu yang memisahkan kewarasan dan kegilaan. Begitu pula dengan tetesan air serta noise yang terus terdengar di latar belakang, menjadi representasi waktu yang mengalir, mengikis ketenangan hingga berubah menjadi kegelisahan.
Tidak ada teriakan histeris, tidak ada kejar-kejaran dramatis. Justru dalam keheningan dan pengulangan, penonton mulai merasakan ketakutan paling murni: kehilangan kendali atas diri sendiri.
Kurosawa menempatkan penonton di antara realitas dan ilusi, membuat penonton mempertanyakan "Apa yang sebenarnya nyata?" Di akhir film, ketika Takabe mulai menunjukkan perubahan halus dalam perilakunya, Cure meninggalkan sensasi yang lebih dingin daripada sekadar jumpscare, seolah keheningannya turut menjalar ke luar layar.
Kekuatan Cure terletak pada cara Kurosawa menggambarkan bahwa kejahatan bukan datang dari luar, tetapi dari dalam diri manusia itu sendiri. Setiap detik filmnya terasa seperti meditasi tentang kehilangan identitas dan rapuhnya kesadaran.
Hampir tiga puluh tahun berlalu, Cure tetap relevan hingga saat ini, terlebih dalam dunia modern yang serba cepat, film ini mengingatkan bahwa teror paling menakutkan tidak selalu datang dari hantu, kadang justru melalui pikiran kita sendiri.
Bagi sobat Ketikers yang ingin merayakan Halloween dengan sesuatu yang mencekam sekaligus penuh makna, film ini adalah pilihan sempurna; sebuah pengalaman yang membuat penonton bukan hanya takut, tetapi juga berpikir. Karena setelah menonton Cure, bahkan bunyi tetesan air pun tak lagi terdengar sama.

 
         
         
             
             
             
             
                        
                     
         
         
         
         
         
                             
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
       
         
         
         
         
                             
         
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                                            