KETIK, JAKARTA – Di lantai kantor Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) yang terletak di jantung Mega Kuningan, Jakarta Selatan, pagi itu, percakapan tentang masa depan daerah mengalir tanpa protokol berlebihan.
Di antara para kepala daerah yang duduk melingkar, terdapat satu sosok muda dengan kemeja putih: Hasan Ali Bassam Kasuba, Bupati Halmahera Selatan yang kini juga memanggul mandat sebagai Koordinator Wilayah Apkasi untuk provinsinya.
Rabu, 30 Juli 2025, Rakor Nasional Koordinator Wilayah Apkasi se-Indonesia berlangsung dalam suasana egaliter, jauh dari kaku birokrasi. Tapi pembahasannya, sungguh serius. Ketua Umum Apkasi, Bursah Zarnubi, yang juga Bupati Lahat, membuka diskusi dengan nada apresiatif dan ajakan reflektif.
“Korwil bukan sekadar gelar struktural. Mereka adalah penghubung denyut aspirasi daerah ke jantung kebijakan pusat,” katanya.
Bersama Penasehat Khusus Apkasi, Prof. Ryaas Rasyid, sang guru besar otonomi daerah yang namanya nyaris menjadi sinonim dengan reformasi pemerintahan lokal, mereka mengurai satu demi satu simpul persoalan relasi pusat-daerah yang semakin kusut belakangan ini.
Dari ujung barat, Asri Ludin Tambunan, Bupati Deli Serdang yang mewakili Sumatera Utara, membuka keluhan lama yang kini kembali relevan: kewenangan daerah yang menciut. “Perencanaan daerah kini lebih banyak menunggu ketok palu pusat. Di mana lagi letak otonominya?” tuturnya.
Ia juga menyinggung ironi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang lolos seleksi paruh waktu tapi kini menjadi ‘beban anggaran’ di pundak pemerintah daerah. “Kami dihadapkan pada pilihan antara nurani dan neraca,” katanya lirih.
Lalu dari ufuk timur, suara Bassam Kasuba terdengar jernih, membawa aroma laut dan bukit dari Halmahera Selatan.
“Program nasional tidak bisa dibagikan seperti seragam sekolah,” ujarnya tenang tapi tegas. “Wilayah seperti kami, dengan lanskap terpecah-pecah oleh laut dan akses terbatas, butuh pendekatan yang lebih luwes, bukan template kebijakan yang datar.”
Bassam tidak sedang meminta perlakuan istimewa. Ia sedang menuntut keadilan spasial. Di wilayah timur Indonesia, bahkan satu kilometer bisa berarti satu jam perjalanan jika ditempuh dengan perahu kecil melawan arus. Dalam konteks itu, gagasan tentang pemerataan sering kali terdengar seperti jargon kosong.
“Kami bukan menolak program nasional. Kami hanya ingin program itu menyentuh bumi tempat kami berpijak,” kata Bassam, yang sejak awal menjabat memang dikenal kerap menyuarakan wajah Timur di tengah keramaian narasi pembangunan yang seringkali Jawa-sentris.
Pertemuan itu bukan hanya ajang koordinasi. Ia menjadi ruang pengakuan bahwa republik ini masih belajar memahami keragamannya sendiri. Dari ruang rapat di Mega Kuningan, gema suara dari perbatasan nusantara itu kembali mengingatkan: pembangunan tak boleh buta arah mata angin.