Tradisi Mauludan, Pakar Unair Ungkap Makna di Baliknya

5 September 2025 14:05 5 Sep 2025 14:05

Thumbnail Tradisi Mauludan, Pakar Unair Ungkap Makna di Baliknya
Akademisi Sastra dan Budaya Islam Universitas Airlangga Ahmad Syauqi SHum MSi. (Foto: Humas Unair)

KETIK, SURABAYA – Di tengah kemajuan zaman, banyak tradisi yang perlahan pudar. Namun, tidak demikian dengan Mauludan, sebuah perayaan yang tak pernah lekang oleh waktu.

Mauludan adalah peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw. yang dirayakan oleh umat Islam di berbagai belahan dunia.

Di Indonesia, Mauludan tak hanya sekadar perayaan keagamaan, tetapi juga telah berakulturasi dengan budaya lokal, menciptakan tradisi yang kaya makna dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat.

Menurut Ahmad Syauqi SHum MSi, Akademisi Sastra dan Budaya Islam Universitas Airlangga (Unair) mengungkapkan bahwa tradisi muludan merupakan hasil dari akulturasi antara ajaran Islam dengan budaya lokal. Tradisi ini berkembang sejak era Walisongo di Nusantara. 

Makna  Religius dan Filosofis

Syauqi menjelaskan bahwa tradisi muludan mempunyai makna religius sebagai perwujudan keimanan dan kecintaan kepada Rasulullah. Sebab, Rasulullah merupakan figur teladan yang senantiasa membawa kasih sayang bagi alam semesta.

Selain itu, muludan juga mengandung nilai filosofis yang mencerminkan solidaritas sosial, gotong royong, sekaligus media dakwah melalui simbol-simbol budaya. Beberapa contoh di antaranya seperti endog-endogan di Banyuwangi, Kirab Ampyang di Kudus. 

“Ini merupakan wujud syukur. Bahwasanya tradisi muludan pastinya berbeda beda di setiap daerah namun pada dasarnya merujuk pada syukur atas bahagianya kelahiran Rasulullah,” ungkapnya.

Menurutnya, tradisi ini juga mengandung nilai pendidikan karakter untuk meneladani meneladani sifat-sifat Rasulullah, seperti jujur, dermawan, menepati janji, dan humanis.

Dinamika Modernisasi 

Lebih lanjut, Syauqi menyebutkan bahwa tradisi ini masih tetap bertahan meskipun dihadapkan arus modern. Hal ini dipengaruhi oleh kemajuan teknologi yang berkembang secara pesat. “Kehadiran medsos membawa perubahan yang signifikan, seperti penyebaran yang sangat cepat, bisa melakukan live streaming, merekam momen dan editing video,” ujarnya

Tak hanya itu ia juga menyoroti pergeseran bentuk kegiatan atau ritual yang dikemas secara formal dan sederhana. “Mungkin disamping satu sisi sederhana, tidak ada tradisi yang harus menggunakan simbol-simbol secara saklek. Meskipun ada di beberapa daerah masih mempertahankan itu, namun intinya adalah bisa berkumpul dan memeriahkan,” tuturnya.

Kendati demikian, Syauqi menekankan pentingnya peran pendidikan dan komunitas dalam menjaga keberlanjutan tradisi.

“Pada dasarnya, tradisi maulid ini dijadikan wasilah perantara untuk bagaimana bermuara pada cinta kepada Rasulullah dan beriman kepada ajaran yang dibawanya yaitu ajaran syariat islam,” jelasnya.

Secara keseluruhan, Mauludan lebih dari sekadar perayaan. Ia adalah sebuah praktik budaya yang sarat akan nilai-nilai spiritual, moral, dan sosial.

Melalui tradisi ini, masyarakat tidak hanya merayakan kelahiran seorang Nabi, tetapi juga menjaga warisan budaya, mempererat persatuan, dan terus meneladani kebaikan yang telah diajarkan. (*)

Tombol Google News

Tags:

Universitas Airlangga Unair Pakar Unair tradisi mauludan budaya budaya mauludan Ahmad Syauqi