KETIK, PEMALANG – Kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang terjadi di salah satu desa di Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, menuai keprihatinan publik.
Pasalnya, perkara yang sempat dilaporkan ke Polres Pemalang tersebut justru berujung damai di tingkat desa dengan kesepakatan kompensasi senilai Rp100 juta.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, kasus ini sebelumnya telah masuk ke ranah kepolisian.
Namun, setelah dilakukan mediasi oleh Pemerintah Desa (Pemdes) setempat, kedua belah pihak mencapai kesepakatan damai pada Rabu, 19 November 2025. Usai kesepakatan tersebut, laporan di Polres Pemalang dicabut.
Dalam perjanjian damai itu, orang tua korban menyetujui pemberian kompensasi dari pihak terduga pelaku sebesar Rp100 juta. Pembayaran disepakati paling lambat pada 31 Desember 2025.
Apabila hingga batas waktu tersebut kompensasi tidak dipenuhi, keluarga korban menyatakan akan kembali melaporkan kasus ini ke Polres Pemalang.
Menanggapi penyelesaian damai tersebut, pemerhati anak Kabupaten Pemalang, Alwi Asegaf menyampaikan keprihatinannya.
Ia menegaskan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak seharusnya tidak diselesaikan secara damai di luar proses hukum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Pihak kepolisian perlu menuntaskan kasus kekerasan seksual dalam rangka penegakan hukum untuk melindungi korban dan memberikan efek jera kepada pelaku,” ujar Alwi, Sabtu, 13 Desember 2025.
Alwi menjelaskan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), khususnya Pasal 23, menegaskan bahwa tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.
“Artinya, penyelesaian harus melalui pengadilan, bukan melalui perdamaian di kantor desa atau di tingkat desa,” tegasnya.
Selain itu, ia juga mengacu pada Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS.
Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa persetubuhan atau pelecehan seksual secara fisik terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan.
“Berpedoman pada dua undang-undang tersebut, polisi sebenarnya dapat memproses kasus kekerasan seksual terhadap anak meskipun tanpa adanya laporan atau pencabutan laporan dari korban,” jelasnya.
Lebih lanjut, Alwi menambahkan bahwa Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif juga memberikan batasan tegas.
Dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa restorative justice tidak dapat diterapkan pada tindak pidana yang meresahkan masyarakat, tindak pidana dengan ancaman hukuman minimal lima tahun penjara, serta tindak pidana serius lainnya.
“Pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan tindak pidana serius yang berdampak besar bagi korban. Karena itu, sesuai aturan yang ada, kasus seperti ini tidak bisa diselesaikan melalui mekanisme restorative justice,” pungkasnya.(*)
