Komisi E DPRD Jatim Dorong Pengesahan Raperda PPA

24 Juni 2025 19:54 24 Jun 2025 19:54

Thumbnail Komisi E DPRD Jatim Dorong Pengesahan Raperda PPA
Paripurna DPRD Jatim dengan bahasan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, Senin 23 Juni 2025 (Foto: Martudji/Ketik)

KETIK, SURABAYA – Komisi E DPRD Provinsi Jatim mendorong percepatan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Penyelenggaraan Pelindungan Perempuan dan Anak (Raperda PPA).

Penekanan itu dilakukan terkait masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah Jatim. Juga perlunya pembaruan regulasi agar lebih relevan dengan kondisi sosial dan tantangan zaman, terutama di era digital.

Anggota Komisi E DPRD Jatim, Puguh Wiji Pamungkas, yang juga juru bicara dalam Nota Penjelasan Komisi E, menyampaikan bahwa data dari SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) menunjukkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jatim masih memprihatinkan.

“Tahun 2023 terdapat 972 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.531 kasus kekerasan terhadap anak. Meski di tahun 2024 angkanya menurun menjadi 771 dan 1.103 kasus, bentuk kekerasan seksual masih menjadi yang paling dominan,” ujarnya.

Selain kekerasan seksual, dirinya juga menyoroti praktik perkawinan anak yang masih tinggi. Berdasarkan data dari Pengadilan Agama, angka dispensasi kawin sempat melonjak tajam pada 2020 menjadi 17.214 kasus pascaperubahan batas usia minimal menikah dari 16 menjadi 19 tahun. Meski jumlah itu terus menurun hingga 8.753 kasus di tahun 2024.

"Angkanya tetap menunjukkan perlunya langkah serius dari pemerintah daerah. Di sisi lain, perkembangan teknologi turut membawa tantangan baru dalam perlindungan anak," terangnya.

Disampaikan, mengacu Studi Disrupting Harm tahun 2022, sebanyak 41persen anak dan remaja di Indonesia menyembunyikan usia mereka saat online, membuat mereka lebih rentan terhadap predator digital dan kekerasan seksual daring.

Survei U-Report pada 2019 juga mencatat bahwa 45% responden anak muda usia 14–24 tahun pernah mengalami cyberbullying.

“Anak-anak dan remaja kita adalah pengguna aktif media digital. Ini membuka peluang besar, tapi juga risiko yang tidak kalah besar. Raperda ini perlu mengatur perlindungan yang mencakup ruang digital,” tutur Puguh.

Ditambahkan, regulasi yang saat ini berlaku, yakni Perda No 16 Tahun 2012 dan Perda No 2 Tahun 2014, sudah tidak memadai dan perlu diganti dengan regulasi terpadu.

Penggabungan dua perda ini dinilai akan menciptakan sistem perlindungan lebih komprehensif, efisien, dan adaptif terhadap perubahan sosial maupun teknologi.

Raperda ini mencakup sejumlah aspek penting, seperti tugas dan wewenang pemerintah daerah, perencanaan dan penyelenggaraan perlindungan, kelembagaan, sistem informasi, kerja sama daerah, partisipasi masyarakat, hingga pembinaan dan pengawasan.

Penguatan koordinasi lintas lembaga juga menjadi salah satu poin utama yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas perlindungan.

Raperda ini disusun juga dengan mengacu ke berbagai regulasi nasional terbaru, di antaranya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak, serta Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2025 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Pelindungan Perempuan dan Anak.

Terkait itu, Wakil Ketua DPRD Jatim Blegur Prijanggono menyampaikan bahwa pandangan dan usulan dari Komisi E terhadap raperda ini merupakan bentuk komitmen legislatif dalam menjawab kebutuhan masyarakat.

“Pandangan Komisi E DPRD Jatim ini akan menjadi masukan yang konstruktif untuk menjadi bahan penyusun peraturan dan membangun Jawa Timur yang inklusif,” ungkap Blegur, di Rapat Paripurna DPRD Jatim. (*)

Tombol Google News

Tags:

DPRD Jatim Komisi E DPRD Jatim paripurna Perlindungan perempuan dan anak